Kita hidup di zaman yang gaduh oleh data, tetapi sepi oleh kebenaran. Era digital menjanjikan keterbukaan informasi, namun justru melahirkan kebingungan massal akibat banjir data tak terverifikasi.
Fenomena ini dikenal sebagai post-truth—kondisi ketika emosi dan opini pribadi lebih dipercaya ketimbang fakta objektif. Istilah ini menguat pasca Brexit dan Pilpres Amerika Serikat 2016, hingga ditetapkan sebagai “Word of the Year” oleh Oxford Dictionaries (2016, Word of the Year 2016).
Namun post-truth bukan sekadar produk hoaks, melainkan cerminan krisis epistemologi yang lebih dalam. Jean-François Lyotard menyebutnya sebagai akibat dari runtuhnya metanarasi, narasi besar yang selama ini menopang makna universal.
BACA JUGA: Siapa Perusak Agama?
Dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, Lyotard (1984, xv–xxiv) menjelaskan bahwa legitimasi pengetahuan modern bergeser dari prinsip kebenaran menuju performativitas—pengetahuan dianggap sah sejauh ia “berfungsi” atau tersebar.
Jean Baudrillard menguraikan hal ini dalam Simulacra and Simulation, bahwa masyarakat kini hidup dalam dunia simulacra—representasi yang tidak lagi merujuk pada realitas, tapi menciptakan realitasnya sendiri (Baudrillard 1994, 1–6).
Dalam dunia seperti itu, berita palsu tidak hanya mengaburkan kebenaran, tapi menjadi kenyataan sosial yang dialami bersama. Judith Butler, dalam Excitable Speech: A Politics of the Performative, memperkuat gagasan ini: makna dan identitas terbentuk dari pengulangan, bukan esensi tetap (Butler 1997, 3–5). Maka hoaks yang terus dibagikan bisa menjadi “kebenaran performatif”.
Krisis Epistemologi
Fenomena ini sangat nyata di Indonesia. Sepanjang 2024, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat 1.923 konten hoaks yang tersebar luas di berbagai platform media sosial, terutama mengenai politik, kesehatan, dan penipuan daring (Kominfo 2025, Siaran Pers No. 08/HM-KKD/01/2025).
Laporan Kolaborasi Anti Hoaks dari CfDS UGM (2024) menegaskan bahwa meskipun akses internet nasional telah mencapai 78%, literasi kritis masyarakat masih rendah. Oleh karena itu masih banyak yang tersesat dalam data dan disinformasi.
Kondisi ini makin terasa selama pandemi COVID-19. Narasi seperti “vaksin menyebabkan autisme” atau “chip 5G ditanam lewat vaksin” menyebar luas. Survei nasional oleh Kementerian Kesehatan dan ITAGI menunjukkan bahwa pada 2022, 7,6% masyarakat menolak vaksin dan 26,6% lainnya masih ragu (Kemenkes RI dan ITAGI 2022, Survei Nasional Penerimaan Vaksin).