Meski kelapa belum masuk daftar utama EUDR, dampaknya bagi Indonesia tetap besar. Banyak pembeli di Eropa kini secara sukarela menerapkan standar No Deforestation untuk seluruh komoditas tropis, termasuk kelapa.
Data 2023 menunjukkan, Uni Eropa mengimpor 105.104 ton kelapa senilai €146 juta, di mana 17% berasal dari Indonesia. Selain itu, Indonesia juga mengekspor 175.207 ton minyak kelapa kasar ke UE dengan nilai hampir USD 198 juta.
Nilai ekspor kelapa olahan Indonesia kini menembus USD 2 miliar, meliputi produk santan, air kelapa, sabut, gula kelapa, hingga karbon aktif. Namun, untuk menjaga daya saing global, Indonesia perlu segera membangun sistem traceability, sertifikasi keberlanjutan, dan kemitraan kuat antara petani dan industri.
Negara pesaing seperti Filipina dan Sri Lanka bahkan sudah lebih dahulu mengekspor produk kelapa bersertifikat organik dan fair trade. Jika Indonesia tidak segera beradaptasi, potensi besar komoditas ini bisa tergerus oleh negara lain.
FGD yang digelar oleh Kadin dan APKI ini dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk Wakil Bupati Nias, HKTI, dan sejumlah pelaku industri pengolahan kelapa. Forum ini menjadi momentum penting untuk menyusun peta jalan kelapa berkelanjutan nasional yang mampu menjawab tantangan pasar global.
“Ini sebetulnya peluang besar bagi petani, bukan sekadar tantangan,” tutup Kuntoro dengan optimis.
BACA JUGA: Kadin Indonesia Dorong Pemanfaatan Biochar untuk Pertanian Berkelanjutan
Melalui kolaborasi antara pemerintah, petani, dan pelaku industri, Indonesia berpeluang memperkuat posisinya sebagai salah satu pemain utama pasar kelapa dunia yang berkelanjutan dan berdaya saing tinggi.