Duduk Perkara Kasus Sengketa 4 Pulau di Aceh Hingga Kemungkinan Dampak Terburuknya

Jakarta – Sengketa tanah atas empat pulau di Aceh yang diklaim sebagai milik Sumatera Utara (Sumut) kembali menjadi sorotan publik. Meski sudah berlangsung cukup lama, persoalan ini masih belum menemukan titik terang dan terus menuai polemik di berbagai kalangan.

Adapun empat pulau yang menjadi objek sengketa adalah Pulau Berhala, Pulau Pasir, Pulau Babi, dan Pulau Nipa. Pulau-pulau tersebut berada di wilayah perairan Aceh dan dinilai strategis dari sisi ekonomi maupun keamanan. Oleh karena itu, tak mengherankan jika kedua provinsi sama-sama mengklaim kepemilikan.

BACA JUGA: Shopee Klaim Bukan PHK Massal, Tapi Ribuan Karyawan Sudah Terdampak, Gimana Dong?

Selanjutnya, keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada tahun 2025 yang menetapkan keempat pulau tersebut sebagai milik Sumut langsung menuai penolakan. Salah satu yang paling vokal menyuarakan protes adalah Senator asal Aceh, Sudirman Haji Uma. Ia mengaku telah menyurati Kemendagri sejak 2017, namun tak mendapat tanggapan.

“Kami sudah surati Kemendagri sejak 2017-2022, tapi tak pernah digubris. Padahal pulau tersebut sejak 1965 tercatat sebagai wilayah Aceh, kok tiba-tiba jadi milik Sumut? Kan aneh,” ujar Haji Uma kepada wartawan pada 28 Mei 2025.

Sejarah Kepemilikan

Sementara itu, menurut sejumlah catatan sejarah, keempat pulau tersebut dulunya merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Aceh. Namun demikian, pasca kemerdekaan Indonesia, status administrasi wilayah tersebut menjadi tidak jelas.

Pihak Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengklaim bahwa keempat pulau tersebut berada dalam wilayahnya berdasarkan peninggalan aturan kolonial Belanda.

Kemudian, sengketa ini telah berulang kali dibawa ke meja hijau. Mahkamah Agung (MA) bahkan pernah mengeluarkan beberapa putusan berbeda dalam menangani kasus ini. Meski begitu, putusan terakhir MA pada tahun 2018 menetapkan bahwa pulau-pulau tersebut merupakan bagian dari Provinsi Aceh.

Dampak dari sengketa ini pun tidak bisa dipandang sebelah mata. Perselisihan antara dua provinsi ini berpotensi mengganggu hubungan antar daerah serta memicu konflik sosial di kalangan masyarakat. Selain itu, ketidakjelasan status wilayah juga bisa menghambat pembangunan serta pengelolaan sumber daya alam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *