Penjelasan lain
Sementara, mantan Direktur Minerba Kementerian ESDM, Mangantar S Marpaung, menjelaskan asal-usul kontrak karya PT Gag Nikel. Awalnya, perusahaan asing asal Australia, Asia Pacific Nickel Pty Ltd, memegang 75% saham, bekerja sama dengan PT Aneka Tambang yang punya 25%.
Namun, sejak UNESCO menetapkan Raja Ampat sebagai bagian dari Triangel Coral Initiative pada 2008, dan diratifikasi oleh 10 negara ASEAN pada 2009, perusahaan asing itu mundur.
Mangantar menyoroti bahaya tambang nikel bagi ekosistem laut Raja Ampat. “Tambang nikel memakai metode Open Pit yang merusak lingkungan,” jelasnya.
Selanjutnya, ia menambahkan, curah hujan tinggi di Indonesia membuat tanah laterit yang menutupi nikel mudah berubah jadi lumpur saat hujan turun.
“Kemudian curah hujan (Rain Gauge) di Indonesia relatif tinggi, tidak seperti di Australia atau Amerika Selatan. Jenis tanah penutup (over burden) dari Nikel itu adalah tanah liat laterit yang mudah menjadi lumpur ketika hujan,” beber Mangantar.
BACA JUGA: Dibongkar! Ini Profil 5 Perusahaan Tambang Nikel yang Bikin Heboh Raja Ampat
Sehingga, menurutnya, lumpur ini bakal mencemari sungai kecil dan pesisir pantai. Akibatnya, Total Suspended Solid (TSS) partikel di air meningkat. Air jadi keruh sehingga biota laut, termasuk terumbu karang, mati karena kekurangan sinar matahari.