RUANGBICARA.co.id – Di era digital saat ini, media sosial sudah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari.
Selain sebagai alat komunikasi, platform seperti Instagram, TikTok, dan X (dulu Twitter) juga berfungsi sebagai panggung bagi pengguna untuk menunjukkan eksistensi mereka. Namun, meskipun mengikuti tren di media sosial terlihat menyenangkan, ada bahaya psikologis yang sering kali luput dari perhatian.
Selain itu, tren media sosial yang viral biasanya datang dengan cepat dan menarik banyak pengguna untuk ikut serta. Sayangnya, tidak semua tren membawa dampak positif. Bahkan, beberapa tren berpotensi membahayakan kesehatan mental dan privasi penggunanya.
BACA JUGA: Apa Penyebab Konsumsi Rumah Tangga Melemah yang Akibatkan Pertumbuhan Ekonomi 2025 Melambat?
Pertama-tama, mengikuti tren hanya demi mendapatkan “like”, komentar, dan pengakuan dapat menimbulkan tekanan mental yang cukup besar. Ketika seseorang merasa harus selalu mengikuti standar atau gaya tertentu yang sedang populer, hal ini berisiko menurunkan rasa percaya diri apabila respons yang didapat tidak sesuai harapan.
Lebih jauh lagi, dalam jangka panjang, kondisi ini bisa memicu gangguan psikologis seperti kecemasan sosial, depresi, hingga ketergantungan pada validasi eksternal dari orang lain.
Risiko Privasi
Selanjutnya, ada pula risiko terkait privasi dan keamanan data. Banyak tren mengajak pengguna membagikan informasi pribadi, seperti tanggal lahir, lokasi, atau nama hewan peliharaan—informasi yang sering menjadi kunci keamanan akun digital.
Bahkan, mengikuti kuis atau filter tertentu di medsos bisa membuka akses terhadap data pribadi. Di samping itu, tren yang menampilkan pamer aset atau lokasi terkini secara tidak langsung bisa mengundang risiko kriminal seperti perampokan.
Selain itu, tren-tren tertentu juga tanpa sadar menormalisasi perilaku negatif. Misalnya, gaya hidup glamor yang ditampilkan tanpa konteks kerja keras di baliknya, atau prank berlebihan yang berpotensi melecehkan orang lain.
Kondisi ini akhirnya membentuk persepsi keliru bahwa perilaku tersebut wajar dan layak ditiru, padahal sebenarnya dapat merusak nilai dan etika sosial.