Hari Buruh Dirayakan, Tapi Banyak Buruh Masih ‘Menjerit’

Tapi Realitanya?

Setiap Mei, suara buruh menggema. Tapi di balik itu, masih ada jeritan yang tak terdengar. Namun ironisnya, di tengah perayaan Hari Buruh, banyak buruh justru masih mengalami tekanan berat. Mulai dari upah yang rendah, lemahnya penegakan hukum ketenagakerjaan, hingga maraknya kerja informal yang tak dilindungi aturan.

Fakta terbaru menunjukkan, sepanjang Januari hingga Agustus 2024, lebih dari 46 ribu pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Jumlah terbesar berasal dari Jawa Tengah. Situasi ini makin parah di awal 2025, ketika PT Yihong Novatex Indonesia menutup operasionalnya dan mem-PHK lebih dari 1.000 pekerja.

Tak berhenti di situ, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dinyatakan pailit pada Oktober 2024. Dampaknya sangat besar. Perusahaan resmi menghentikan semua aktivitas produksi pada Maret 2025 dan melakukan PHK massal terhadap lebih dari 10 ribu karyawan, termasuk anak usahanya seperti PT Bitratex dan PT Primayuda.

Lebih lanjut, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mencatat bahwa hingga awal Maret 2025, sudah ada 60 ribu buruh yang terkena PHK. Angka ini berbeda dengan data resmi dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Presiden KSPI Said Iqbal menilai, perbedaan ini terjadi karena pemerintah tidak turun langsung ke lapangan.

“Data pemerintah dan data lapangan selalu berbeda. Data lapangan adalah yang dikumpulkan serikat pekerja, sementara pemerintah hanya berdasarkan laporan dari Disnaker daerah,” ungkap Iqbal dalam konferensi pers daring pada 5 April 2025.

BACA JUGA: Menggugat Premanisme Berkedok Ormas

Oleh karena itu, meskipun Hari Buruh dirayakan dengan semangat, nasib banyak buruh di Indonesia masih penuh tantangan. Perlu langkah nyata dari pemerintah dan pengusaha untuk menjawab tuntutan mereka, bukan sekadar seremonial tahunan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *