Industri Kaca Tersandera ‘Preman Birokrasi’, Transisi Energi Hijau Terhambat Regulasi

Jakarta – Transisi menuju energi hijau terus menjadi agenda utama dalam menghadapi tantangan perubahan iklim global. Namun, semangat penggunaan energi baru terbarukan (EBT) ternyata masih terbentur oleh berbagai hambatan serius di lapangan.

Salah satu kendala terbesar dalam proses ini datang dari birokrasi yang berbelit serta regulasi yang belum sinkron. Bahkan, beberapa pelaku industri menyebutnya sebagai ‘preman birokrasi’ yang menghambat gerak maju transisi energi.

Ketua Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengamanan (AKLP) sekaligus Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), Yustinus Gunawan, secara terbuka mengungkapkan tantangan yang dihadapi industri kaca nasional dalam mendukung kebijakan industri hijau.

BACA JUGA: Pemerintah Dorong Pembentukan Koperasi Desa Merah Putih, Ini Syarat dan Cara Daftarnya

Menurut Yustinus, meskipun sertifikasi industri hijau belum diwajibkan oleh pemerintah, para pelaku industri kaca telah menunjukkan komitmen untuk memenuhinya. “Saat ini kami sedang meneruskan sertifikasi industri hijau sebagai patokan formal, meski belum wajib,” ujar Yustinus dalam acara Saresehan Industri Nasional yang digelar Institute for Essential Services Reform (IESR) di Jakarta, Senin (26/5/2025).

Lebih lanjut, Yustinus menjelaskan bahwa penggantian teknologi rendah karbon dilakukan secara bertahap. Pasalnya, tungku produksi dalam industri kaca memiliki usia pakai sekitar 15 tahun. “Kami tidak bisa langsung mengganti seluruh sistem. Teknologi baru diterapkan saat ada pergantian tungku setiap 15 tahun,” jelasnya.

Terganjal regulasi

Meski beberapa anggota AKLP telah memasang panel surya dan menggunakan teknologi ramah lingkungan seperti oksibuster, proses perizinannya tetap menjadi kendala besar. “Ketika ingin memasang solar panel di atap, prosesnya bisa memakan waktu bertahun-tahun karena regulasi belum sinkron dari pusat ke daerah,” ungkap Yustinus.

Di sisi lain, ia mengungkapkan bahwa para investor sudah mulai melirik potensi bisnis karbon di Indonesia. Namun, kembali lagi, masalah perizinan menjadi penghalang utama. “Investor sudah ada. Tapi perizinannya yang ruwet. Kita negara kaya, semua orang tahu. Tapi izin jadi batu sandungan,” katanya.

Menurut Yustinus, bila Indonesia tidak segera mengakselerasi proses dekarbonisasi, maka negara bisa tertinggal. “Kalau negara lain sudah menerapkan batas karbon, dan kita tidak siap, bisa jadi kita harus membeli karbon dari luar. Padahal seharusnya kita bisa menjual,” tegasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *