Industri Kaca Tersandera ‘Preman Birokrasi’, Transisi Energi Hijau Terhambat Regulasi

Tarif Listrik

Tidak hanya itu, tarif listrik rendah karbon juga menjadi sorotan. Saat ini, harga listrik dari sumber rendah emisi masih lebih mahal dibanding listrik konvensional. “PLN sudah jual listrik rendah karbon, tapi harganya masih tinggi,” keluh Yustinus.

Ia menegaskan, jika tarif tidak disesuaikan, maka perusahaan yang masih menggunakan energi fosil justru lebih kompetitif secara biaya. “Kalau saya bayar karbon dan listriknya mahal, yang rugi bukan cuma saya, tapi nasional,” tegasnya.

Dengan meningkatnya tensi perang dagang global, Yustinus menilai kesiapan industri nasional menghadapi kompetisi internasional harus jadi prioritas. “Kita harus siap menghadapi perang dagang. Kalau listrik mahal, daya saing kita turun,” ujarnya.

Ia menyarankan agar kenaikan tarif listrik dilakukan secara bertahap dan disesuaikan dengan kemampuan industri. “Kenaikan harus proporsional agar industri tetap bisa tumbuh dan bersaing,” tambahnya.

Harapan Baru

Meski menghadapi banyak tantangan, Yustinus tetap optimis terhadap masa depan industri energi. Ia menyebut proyek pipa gas dari Batang ke Cirebon yang ditargetkan selesai pada 2026 sebagai langkah positif. “Infrastruktur gas penting untuk menopang industri, khususnya di wilayah Jawa hingga Sumatera Selatan,” katanya.

Namun, ia kembali menyoroti birokrasi yang menjadi penghambat besar investasi dan inovasi. Yustinus secara keras menyebut keberadaan ‘preman birokrasi’ sebagai penghalang utama. “Deregulasi bisa saya pecat. Tapi siapa yang berani melawan preman birokrasi di tingkat bawah?” kritiknya.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa di tingkat bawah, banyak pejabat yang ragu mengambil keputusan karena takut tekanan dari ‘preman regulasi’. “Ini negara kekerasan. Level bawah takut, karena banyak yang main tekan,” ujar Yustinus.

BACA JUGA: Abang None Jakarta Go Internasional Angkat Ekonomi Kreatif Ibukota

Sebagai penutup, Yustinus menegaskan pentingnya pemimpin yang tegas dan berani seperti Dedi Mulyadi (KDM) dalam menghadapi persoalan birokrasi ini. “Siapa yang berani seperti dia? Nggak ada negosiasi. DPRD walkout pun silakan, yang penting rakyat nggak kebanjiran,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *