RUANGBICARA.co.id, Jakarta – Greenpeace Indonesia mengungkapkan temuan mengejutkan soal 16 izin pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, mengatakan izin tambang tersebut terdiri dari 5 izin aktif dan 11 izin lainnya yang sebelumnya sudah dibatalkan atau kadaluarsa. Namun, ironisnya, sebagian izin yang telah kadaluarsa justru kembali aktif melalui kemenangan perusahaan tambang di pengadilan.
Lebih lanjut, Arie menjelaskan bahwa salah satu izin tambang berada di Kepulauan Fam. Bahkan, ada pula rencana pembangunan smelter nikel di wilayah Sorong, yang selama ini menjadi pintu masuk utama wisatawan ke Raja Ampat dan memiliki ekosistem laut yang kaya.
BACA JUGA:Â Setelah Polemik PIK 2, Tangan Kanan Aguan Ali Hanafia Diduga Terseret Izin Tambang Nikel di Raja Ampat
Dalam konferensi pers pada 10 Juni 2025, pemerintah mengumumkan pencabutan empat izin usaha pertambangan (IUP) aktif di Raja Ampat. Termasuk di antaranya adalah izin-izin yang berlaku di pulau-pulau kecil, kecuali Pulau Gag. Namun, pencabutan izin ini tidak serta-merta menyelesaikan dampak sosial dan lingkungan yang sudah terjadi.
Menurut Greenpeace, preseden pengaktifan kembali izin yang sudah dicabut sebelumnya sudah pernah terjadi di Raja Ampat. Hal ini menunjukkan bahwa pencabutan izin belum bisa menjamin hilangnya ancaman tambang nikel terhadap ekosistem wilayah tersebut.
“Pembatalan empat izin pertambangan memang langkah maju, tapi itu belum cukup. Presiden harus melindungi seluruh Raja Ampat dan menghentikan semua rencana tambang nikel, termasuk pembangunan smelter di Sorong,” ujar Arie Rompas dalam keterangan tertulis, dikutip Jumat (13/6/2025).