Korea Bisa, Kenapa Kita Tidak? Pakar Usul Pemerintah Buat Aplikasi Ojol Sendiri

Jakarta – Rencana aksi demo ojek online (ojol) pada 20 Mei 2025 menarik perhatian banyak pihak, termasuk pakar transportasi Djoko Setijowarno. Dia mengkritik kondisi ojol saat ini yang dinilai kurang adil bagi pengemudi.

Selain itu, Djoko mengusulkan agar pemerintah membuat aplikasi ojol sendiri, mencontoh keberhasilan Korea Selatan yang melindungi sopir taksinya lewat aplikasi transportasi milik pemerintah. Lalu, apa alasan di balik usulan ini dan bagaimana kondisi ojol di Indonesia sekarang?

Djoko, yang juga Wakil Ketua MTI Pusat, menjelaskan bahwa selama ini pandangan masyarakat keliru soal lapangan pekerjaan dari ojol.

BACA JUGA: Trans Semarang Masih Jauh dari Kata Ideal

“Berdasarkan survei Balitbang Kemenhub 2019 dan 2022, hanya sedikit pengemudi yang berasal dari pengangguran, yakni di bawah 20 persen,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (18/5/2025).

Selain itu, pendapatan harian pengemudi ojol sangat minim, berkisar antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu, hampir sama dengan biaya operasional. Tarif baru yang diterapkan justru membuat pendapatan makin tertekan. Bahkan, bonus dan tip dari aplikator maupun penumpang sangat jarang didapat pengemudi.

“Penurunan pendapatan juga seiring dengan menurunnya jumlah order harian. Sebelum tarif baru, hampir setengah pengemudi bisa mendapatkan 5–10 order per hari,” jelasnya.

Namun setelah tarif naik, lebih dari setengah pengemudi hanya mendapat kurang dari 5 order sehari. Kondisi ini makin memicu rencana demo untuk menyuarakan aspirasi pengemudi terkait tarif, potongan aplikator, dan jaminan sosial.

Pengguna Berkurang

Tidak hanya pengemudi, pengguna ojol juga mulai mengurangi penggunaan layanan ini. Survei menunjukkan 50,24 persen pengguna ojol mengaku mengurangi atau berhenti memakai ojol karena tarif naik. Meski tarif dianggap wajar oleh sebagian besar masyarakat, kenaikan bersamaan dengan harga BBM yang naik membuat beban masyarakat bertambah.

Djoko menilai bisnis transportasi daring selama ini gagal memberikan masa depan yang layak bagi pengemudi. Rata-rata penghasilan pengemudi ojol hanya di bawah Rp 3,5 juta per bulan dengan jam kerja panjang tanpa libur.

“Janji pendapatan besar dari aplikator sejak 2016 tidak terealisasi, terutama karena jumlah pengemudi yang tidak dibatasi sehingga supply jauh melebihi demand,” sesal dia.

Menurutnya, pemerintah harus membuat regulasi yang melindungi pengemudi ojol. Motor yang digunakan sebagai angkutan umum perlu memenuhi syarat seperti uji kir, SIM C umum, pelat kuning, dan tarif ditentukan oleh perusahaan angkutan resmi, bukan oleh aplikator.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *