Langkah Korporasi Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Justru Untungkan Negara

RUANGBICARA.co.id, Jakarta – Di tengah polemik hukum yang menimpa eks Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry, Ira Puspadewi. Sosok yang sebelumnya dinilai mengambil keputusan merugikan negara, kini justru mendapat pembelaan kuat dari seorang praktisi yang telah lebih dari tiga dekade berkecimpung dalam industri penyeberangan kapal feri.

Dalam tayangan terbaru di kanal YouTube milik Prof. Rhenald Kasali, hadir Sabri Ramdhany, seorang pelaku usaha penyeberangan senior sekaligus Direktur Utama PT Sadena Mitra Bahari. Lewat pengalaman panjangnya, Sabri menggambarkan bahwa keputusan korporasi ASDP di era Ira Puspadewi bukan hanya logis secara bisnis, tetapi juga menguntungkan negara.

BACA JUGA: Punya Akuntan Forensik Internal, KPK Siap Hitung Kerugian Negara Kasus Korupsi ASDP

Sabri memulai dengan menjelaskan hal mendasar yang kerap luput dari pemahaman publik: izin kapal tidak menempel pada kapalnya, melainkan pada perusahaan pemiliknya. Artinya, kapal tanpa perusahaan hanya menjadi besi besar tak bernilai operasional.

“Kalau saya jual kapal saja, tidak ada yang mau beli. Tapi kalau dijual dengan perusahaannya, itu baru laku. Ada keuntungan negara di situ, bukan kerugian,” ujar Sabri, dikutip Rabu (26/11/2025).

Pernyataan itu menjadi kunci untuk memahami mengapa ASDP memilih mengakuisisi PT Jembatan Nusantara bukan hanya kapalnya.

Tidak hanya itu, Sabri menegaskan bahwa kapal tua berusia 30 hingga 50 tahun tetap dapat menghasilkan pendapatan stabil, asalkan perawatan dilakukan sesuai standar. Anggapan bahwa kapal tua selalu merugi, menurutnya, hanya muncul karena ketidaktahuan pihak yang tidak memahami industri.

Untuk memperkuat penjelasannya, Sabri mengungkap bahwa setiap proses akuisisi tidak bisa dilakukan sembarangan. Pengusaha wajib melewati tahapan due diligence, penilaian KJPP, dan pemeriksaan teknis oleh BKI. Ketiga tahapan ini adalah standar yang tidak dapat dilewati dalam industri perkapalan.

Bahkan, Sabri menyebut fakta menarik lainnya: harga kapal tua di pasar bisa mencapai tiga kali lipat dari nilai appraisal. Karena itu, ketika ASDP membeli PT Jembatan Nusantara dengan nilai sekitar Rp1,2–1,3 triliun, angka tersebut dinilai sangat wajar.

“Pendapatan per tahun saja 600 miliar. Dua tahun sudah kembali modal sesuai value perusahaannya,” tambahnya. Pernyataan itu sekaligus mematahkan tudingan bahwa negara mengalami kerugian dari transaksi tersebut. Justru sebaliknya—ASDP mendapatkan aset produktif, pendapatan besar, dan posisi bisnis yang lebih kuat.

Prof. Rhenald Kasali kemudian menarik kesimpulan penting. Menurutnya, kesalahan muncul ketika industri perkapalan dinilai dengan common sense, bukan dengan pengetahuan teknis dan pengalaman lapangan. “Harga kapal, izin, pendapatan, dan risiko tidak bisa dinilai seperti menilai barang konsumer,” ujarnya.

Ia bahkan mengapresiasi dissenting opinion dari hakim ketua dalam kasus Ira Puspadewi, karena dianggap sejalan dengan karakter industri yang sebenarnya. Menurut Rhenald, persepsi publik dan aparat hukum perlu dibangun berdasarkan pemahaman bisnis yang presisi.

Menariknya, penjelasan para praktisi ini turut menjawab rasa penasaran publik terkait alasan Presiden Prabowo Subianto memberikan hak rehabilitasi kepada Ira Puspadewi dan dua mantan direksi ASDP lainnya. Langkah itu diumumkan langsung oleh Mensesneg Prasetyo Hadi dalam konferensi pers bersama Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya di Kantor Presiden, Jakarta.

Dari apa yang terungkap, publik kini bisa melihat gambaran lebih utuh. Pertama, tidak ada kerugian negara. Kedua, proses akuisisi dilakukan sesuai standar industri. Ketiga, langkah korporasi justru memperkuat BUMN. Dan terakhir, aset yang dibeli memberikan pendapatan besar serta berkelanjutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *