Jakarta – Pemerintah secara resmi mengesahkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034. Namun, kebijakan ini dinilai belum sejalan dengan Persetujuan Paris yang menargetkan sektor kelistrikan untuk mencapai puncaknya sebelum tahun 2030.
Meskipun demikian, RUPTL terbaru mencantumkan target kapasitas Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 42,6 GW atau sekitar 61 persen. Selain itu, terdapat pula target penyimpanan daya sebesar 10,3 GW (15 persen) melalui pembangkit listrik tenaga air (PLTA) terpompa dan baterai.
Adapun dalam bauran EBT tersebut, energi surya mendapat porsi terbesar dengan 17,1 GW. Selanjutnya diikuti oleh pembangkit dari tenaga air sebesar 11,7 GW, angin 7,2 GW, panas bumi 5,2 GW, bioenergi 0,9 GW, dan energi nuklir sebesar 0,5 GW yang baru pertama kali masuk dalam RUPTL PLN.
BACA JUGA: Ini Alasan PLN Beri Diskon Setengah Harga Tambah Daya Listrik, Masuk Akal Kah?
Namun begitu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai target tersebut masih lebih rendah dibandingkan komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar 56 GW pada tahun 2030.
Menurutnya, RUPTL ini juga belum sesuai dengan upaya membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celsius sebagaimana tertuang dalam Persetujuan Paris.
“Salah satu faktor yang mengancam transisi energi Indonesia dan potensi krisis listrik beberapa tahun mendatang adalah ketidakmampuan PLN melakukan lelang pembangkit energi terbarukan dalam skala besar dalam waktu cepat, serta bertele-telenya proses negosiasi power purchase agreement (PPA). Akibatnya realisasi energi terbarukan rendah dan keamanan pasokan listrik jangka panjang terancam,” kata Fabby dikutip, Selasa (27/5/2025).






