RUANGBICARA.co.id – Alih-alih memperbaiki sistem. Di negeri antah brantah bernama Indonesia, urusan jabatan kadang lebih menyerupai hiburan ketimbang urus negara.
Misal, di sektor strategis seperti energi dan kelistrikan, di mana logika dan keahlian seharusnya menjadi panglima, justru yang tampil adalah parade wajah-wajah popular, loyalis partai, bahkan ada akademisi setengah politisi, sampai mantan atlet dan selebritas turut hinggap. Mungkin inilah saat yang tepat untuk menggelar tahlilan bagi meritokrasi.
Lihat saja, Pertamina dan PLN kini nampak bukan lagi sekadar perusahaan negara, melainkan panggung besar untuk eksperimen sosial. Ade Armando, yang selama ini lebih dikenal sebagai komentator politik dan loyalis partai, kini duduk manis sebagai Komisaris PLN Nusantara Power. Taufik Hidayat, yang prestasinya di lapangan bulu tangkis tak diragukan, mendadak melompat ke medan energi sebagai komisaris di PLN Energi Primer Indonesia.
BACA JUGA:Â Bukan Ahlinya, Dua Wamen dan Yovie Widianto Bertengger Jadi Komisaris Pupuk Indonesia, Apa Hebatnya?
Tak berhenti di situ, ada juga Stella Christie, akademisi yang saat ini menjabat Wakil Menteri Pendidikan Tinggi juga turut berlabuh di Pertamina Hulu Energi. Kemudian muncul nama-nama seperti Denny JA, pengamat politik sekaligus pemilik lembaga survei, dan Ilham Salahudin, mantan Kapolda, yang kini ‘Bos’ audit kilang Pertamina Internasional.
Barisan komisaris ini diwarnai pula presenter dan aktor, mantan sekretaris pribadi presiden, hingga tokoh agama. Ada yang menyebut ini sebagai kebinekaan dalam tata kelola perusahaan. Tapi lebih tepatnya sih, ini adalah ironi.
Antara Merit dan Modal Politik
Dalam teori yang diajarkan para dosen sosial dan ilmu politik, meritokrasi adalah sistem suci. Artinya, sistem ini menempatkan orang berdasarkan kemampuan, bukan karena silsilah, jaringan, atau popularitas. Sebabnya, Michael Young sang pencetus istilah “meritokrasi,” tak pernah membayangkan bahwa konsep ini akan ditukar dengan sistem semacam ‘siapa dekat, dia dapat’.






