Padahal, Indonesia telah memiliki instrumen hukum seperti UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN. Ada KASN yang mengawasi rekrutmen agar sesuai prinsip merit. Tapi ironisnya, di luar ASN, terutama dalam jabatan komisaris BUMN, merit tampaknya cuma jadi pajangan di dokumen presentasi.
Masalahnya sederhana namun pelik. Tapi, kursi komisaris kini telah menjadi “imbalan politik” pasca pemilu. Mereka yang berjasa, rajin berkicau membela, atau sekadar punya nama besar, diberi tempat dan mungkin saja, entah mereka paham kilang minyak atau hanya tahu cara memakai power point.
Secara sosiologis, ini mengkhianati semangat reformasi birokrasi. Jika meritokrasi adalah lawan dari feodalisme dan nepotisme, maka yang terjadi saat ini adalah langkah mundur ke masa di mana koneksi lebih penting dari kompetensi.
Demokrasi tidak cukup hanya dengan mencoblos setiap lima tahun. Demokrasi sejati lahir dari institusi yang kuat dan tata kelola yang transparan. Komisaris di BUMN strategis bukan sekadar simbol. Mereka punya peran penting dalam pengawasan dan arah kebijakan. Ketika jabatan ini jatuh ke tangan yang tidak kompeten, maka risiko bukan hanya pada kinerja perusahaan, tetapi juga pada hilangnya kepercayaan publik.
BACA JUGA: Bambang Eko Jadi Komisaris Baru PLN, Geng Wamen Kini Lengkap Bertiga
Lantas, kita harus bertanya: benarkah ini hanya sekadar penyegaran struktur? Ataukah ini cara halus mengubah BUMN menjadi tempat rekreasi politik bagi mereka yang kehabisan panggung?

 
																						




