Jakarta – Sengketa dagang kelapa sawit antara Indonesia dengan Uni Eropa (UE) di Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (Dispute Settlement Body World Trade Organization/DSB WTO) akhirnya selesai. Indonesia akhirnya memenangkan sengketa dagang yang telah bergulir sejak 2019.
Secara umum, Panel WTO menyatakan bahwa UE telah melakukan diskriminasi dengan memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan terhadap biofuel berbahan baku kelapa sawit dari Indonesia dibandingkan dengan produk serupa yang berasal dari UE, seperti rapeseed dan bunga matahari.
BACA JUGA: Luhut Minta ASPAKI Tingkatkan Produksi Alat Kesehatan Mulai 2025
Kemudian, UE juga memberikan perlakuan yang lebih menguntungkan kepada produk sejenis yang diimpor dari negara lain seperti kedelai.
Panel WTO juga menilai bahwa UE gagal meninjau data yang digunakan untuk menentukan biofuel dengan kategori alih fungsi lahan kelapa sawit berisiko tinggi (high ILUC-risk).
Selain itu, ada kekurangan dalam penyusunan dan penerapan kriteria serta prosedur sertifikasi low ILUC-risk dalam Renewable Energy Directive (RED) II. Oleh karena itu, UE diwajibkan untuk menyesuaikan kebijakan di dalam Delegated Regulation yang dianggap melanggar aturan WTO.
Menanggapi keputusan tersebut, Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menyambut baik putusan Panel WTO dalam sengketa dagang kelapa sawit ini.
“Putusan Panel WTO pada sengketa dagang sawit dengan Uni Eropa yang dikaitkan dengan isu perubahan iklim, sebagai dasar agar Uni Eropa tidak sewenang-wenang dalam memberlakukan kebijakan yang diskriminatif,” kata Budi Santoso dalam keterangannya, Jumat (17/1/2025).