Penelitian Vahlufi Eka Putri dan Evi Martha (2024, 2865–2870) dalam Jurnal Kesehatan Tambusai menunjukkan bahwa penolakan vaksin dipengaruhi oleh informasi menyesatkan dari media sosial dan tokoh informal. Nahasnya, narasi sesat dan pendapat tokoh informal lebih dipercaya daripada data dari lembaga resmi dan pakar.
Namun masalah ini tidak semata-mata karena kurangnya informasi ilmiah. Jürgen Habermas, dalam The Theory of Communicative Action, menyatakan bahwa komunikasi rasional menuntut ruang bebas dari dominasi dan distorsi (Habermas 1984, 286–289).
Sayangnya, ruang digital hari ini dikendalikan oleh algoritma yang menciptakan filter bubble, memperkuat bias konfirmasi, dan mempersempit pandangan dunia. Artinya, banjir data dan narasi keliru ini dikelola dengan apik oleh suatu sistem—dalam hal ini bisa dimaknai sebagai dominasi otoritas.
Hoaks Bagian Instrumen Kekuasaan
Michel Foucault telah mengingatkan bahwa kebenaran tidak pernah netral, melainkan dibentuk oleh struktur kuasa dan wacana dominan. Dalam Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ia menunjukkan bahwa pengetahuan selalu merupakan hasil dari relasi kekuasaan (Foucault 1980, 131–133). Maka hoaks bukan sekadar kesalahan data, tapi ekspresi dari kontrol atas persepsi kolektif.
Byung-Chul Han menyebut kondisi ini sebagai infokrasi, sebuah rezim kekuasaan berbasis informasi yang justru menumpulkan daya pikir. Dalam bukunya Infocracy, Han (2022, 8–15) menjelaskan bahwa banjir informasi membuat masyarakat kehilangan kapasitas reflektif, dan hoaks justru tumbuh subur bukan karena kurangnya data, tetapi karena kelebihan informasi yang tak tersaring.
Secara fenomenologis, manusia kehilangan orisinalitas diri, kediriannya sebagai manusia. Dalam kondisi seperti ini, tampakanya kita perlu bertanya, siapa yang diuntungkan dari ketidak pastian ini?
Menghadapi situasi ini, Indonesia perlu strategi interdisipliner: menguatkan literasi digital dan epistemologis, mereformasi kurikulum agar generasi muda tidak hanya menjadi pengguna informasi, tapi pembaca symbol dan tanda, serta pencipta makna. Mereka harus dilatih untuk bertanya: siapa yang bicara? Dengan otoritas apa? Atas kepentingan siapa?
BACA JUGA:Â Fenomena Rojali Jadi Sorotan, BPS Sebut Sinyal Tekanan Ekonomi Rumah Tangga
Pada akhirnya, era post-truth bukanlah pertanda bahwa kebenaran telah mati, tetapi bahwa kebenaran sedang disembunyikan dari nalar kita, suatu keterselubungan yang tebal dan menyebalkan. Dalam dunia yang dijejali data, kemampuan berpikir jernih dan kritis adalah satu-satunya cara untuk tetap waras.