Merawat Demokrasi Melalui Demonstrasi

Tragedi tewasnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tertabrak kendaraan taktis saat aksi di Jakarta, kian mempertegas krisis kepercayaan publik terhadap negara dan aparat, serta menegaskan rapuhnya praktik demokrasi yang seharusnya berpihak pada rakyat.

Robert A. Dahl dalam buku On Democracy mengungkapkan bahwa proses demokrasi yang paling mendasar adalah memberikan semua orang kesempatan untuk menentukan dan memegang kendali atas kebijakan yang akan diambil. Sayangnya, hal tersebut selalu menjadi problem negara-negara demokrasi di dunia.

Demokrasi sering dimaknai sempit sebatas partisipasi dalam pemilu, tetapi menyisakan jurang lebar antara pemerintah dan masyarakat dalam menentukan kebijakan. Ketika hubungan ini memburuk, jalan terakhir yang bisa menjembatani persoalan tersebut adalah demonstrasi.

BACA JUGA: Meninjau Ulang Fenomena Pasca Kebenaran (Post-Truth)

Aksi yang terjadi di Indonesia sejak 25 Agustus hingga 1 September 2025 merupakan akumulasi kekecewaan masyarakat yang telah dipendam selama 10 tahun terakhir. Seperti bara dalam sekam, kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat berdampak pada roda pemerintahan di daerah. Solusi praktis yang mereka ambil untuk membiayai pembangunan daerah tentu sudah bisa ditebak, yaitu menaikkan pajak.

Kenaikan pajak yang dibarengi dengan komunikasi buruk dari pejabat publik menjadi bahan bakar kemarahan masyarakat. Ledakan kecil sudah terlihat melalui beragam aksi protes di media sosial. Alih-alih melakukan evaluasi, kritik tersebut justru ditanggapi dengan arogansi oleh pejabat publik. Mereka seharusnya belajar dari sejarah Revolusi Prancis yang menumbangkan kekuasaan Raja Louis XVI.

Kala itu, rakyat Prancis dijadikan “sapi perah” dengan pajak yang tinggi, termasuk pajak langsung (taille) serta kewajiban memberikan persepuluhan (pajak hasil panen) kepada gereja, sementara bangsawan dan pendeta sering kali terbebas dari kewajiban. Hal tersebut serupa dengan yang terjadi di Indonesia saat ini: ketika pajak masyarakat meningkat, para wakil rakyat justru menikmati peningkatan tunjangan dan fasilitas mewah yang bebannya ditanggung negara.

Keresahan semakin membesar ketika aspirasi masyarakat tidak didengar parlemen. Pernyataan demi pernyataan pejabat untuk merasionalkan kondisi hanya menegaskan pandangan publik: satu-satunya yang hilang dari pemimpin saat ini adalah kemampuan mendengar dan berempati. Kebohongan yang terang-terangan dan sikap arogan bukan saja gagal meyakinkan publik, melainkan juga memicu kemarahan luas.

Pernyataan pejabat yang menegasikan keresahan masyarakat memantik ribuan orang turun ke jalan dan terlibat bentrok dengan aparat di berbagai kota. Sejumlah gedung pemerintahan dan fasilitas publik terbakar. Beberapa rumah pejabat dirusak serta dijarah. Hingga kini, kerusuhan tercatat menewaskan 10 orang. Angka yang cukup besar untuk sebuah perubahan.

Affan dan Para Martyr

Dalam negara demokrasi, unjuk rasa merupakan salah satu prinsip mendasar kebebasan berpendapat. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Namun, setiap kali wakil rakyat masuk ke gedung parlemen, seolah mereka memilih “tembok tebal” dan “penutup telinga” sehingga suara masyarakat, sekeras apa pun, tak mampu menembus nurani mereka. Harapan untuk bertemu wakil rakyat kerap pupus dan berakhir dengan bentrok melawan aparat. Inilah yang melahirkan stigma negatif terhadap setiap aksi massa.

Benturan yang terjadi sering membuat isu bergeser, sementara aspirasi masyarakat menguap sebelum sampai ke meja parlemen. Kerusuhan dan anarkisme yang muncul tidak jarang memakan korban jiwa. Orang-orang yang gugur di garis perlawanan dianggap sebagai martyr perjuangan. Tak terkecuali insiden yang menimpa Affan saat demo di Jakarta (28/8).

Seusai aksi buruh, ribuan mahasiswa bergantian mendatangi gedung parlemen menuntut reformasi DPR. Polisi membubarkan kerumunan dengan water cannon dan gas air mata. Kericuhan sporadis pecah hingga malam hari. Sebuah mobil rantis Brimob yang melaju kencang ke arah massa menabrak seorang pengemudi ojek online hingga terkapar.

Korban itu bernama Affan Kurniawan (21). Ia meninggal setelah sempat dibawa ke RSCM. Ratusan pengemudi ojol kemudian mendatangi Markas Brimob di Kwitang, Jakarta Pusat, menuntut keadilan atas kematian rekan mereka. Jalan-jalan di Jakarta dan kota besar lainnya berubah menjadi medan pertempuran. Aroma gas air mata menyelimuti udara, sementara demonstran melawan dengan kembang api, batu, dan bom molotov.

Kematian Affan menjadi momentum menekan DPR agar merevisi tunjangan pribadi serta menuntut reformasi segera di tubuh Polri dan DPR. Kasus ini bisa mengubah lanskap politik Indonesia sekaligus membuka ruang kosong yang selama ini sengaja ditutup.

Kasus Affan serupa dengan kematian George Floyd (2020) di Amerika Serikat, yang memicu gerakan Black Lives Matter. Bahkan negara yang dianggap tempat lahirnya demokrasi itu harus membubarkan massa aksi dengan tindakan represif.

Beberapa tahun kemudian, Mahsa Amini (2022), perempuan Kurdi-Iran, juga meninggal setelah ditahan polisi moral karena dugaan pelanggaran aturan berpakaian. Polisi menyebut ia meninggal karena serangan jantung, tetapi saksi mengatakan sebaliknya: Mahsa diduga dianiaya. Kasus itu memicu aksi besar di Iran dengan slogan Women, Life, Freedom.

Jika diperhatikan, semua kasus tersebut memiliki kesamaan: dipicu gagalnya aparat kepolisian bertindak secara humanis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *