Polisi, Alat Negara
Litbang Kompas merilis hasil survei pada Jumat (24/1/2025) yang menempatkan Kepolisian RI sebagai institusi negara dengan citra paling rendah. Polri hanya memperoleh penilaian positif 65,7 persen, berada di bawah DPR (67 persen).
Sebagai alat negara yang wajib mengayomi masyarakat, hasil survei ini seharusnya menjadi sinyal buruk bagi Polri untuk segera berbenah. Dalam 10 tahun terakhir, pemerintah dan pimpinan gagal memoles wajah Polri agar lebih bersahabat. Kasus pemerasan DWP 2024, Tragedi Kanjuruhan, hingga tewasnya Affan masih jelas di ingatan publik. Belum lagi pungli dan lambannya penyelesaian laporan masyarakat. Jika tidak segera dibenahi, sentimen publik terhadap Polri akan terus memburuk.
Saat demonstrasi, kehadiran Polri seharusnya menjamin rasa aman. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya: Polri dianggap tameng kekuasaan yang dibenturkan dengan rakyat. Hal ini tidak lepas dari kegagalan pemerintah mendefinisikan masalah, sehingga solusi selalu berakhir dengan tindakan represif.
Untuk itu, Presiden Prabowo dan jajaran kepolisian penting melakukan rebranding dengan mengganti pimpinan Polri serta melakukan evaluasi menyeluruh. Polri juga harus memperketat jalur masuk dan memperbarui kurikulum pendidikan agar lebih humanis dan relevan.
Di era media sosial, segala tindakan aparat menjadi sorotan publik. Karena itu, Polri harus cermat dalam menjalankan tugas. Arahan Presiden Prabowo agar kasus ini ditangani transparan merupakan langkah awal untuk menunjukkan bahwa Polri tegas terhadap siapa pun dan tunduk pada konstitusi.
BACA JUGA: Sebuah Kesaksian: Atmakusumah Astraatmadja, Sang Maestro Kemerdekaan Pers Asal Banten
Langkah ini penting dijadikan momentum agar Rastra Sewakottama—yang berarti “Polri adalah Abdi Utama Nusa dan Bangsa”—tidak hanya menjadi slogan, melainkan dimaknai dengan tulus sebagai simbol penegakan hukum yang berkeadilan.






