BAGI saya, merawat dan menjaga NU adalah sama dengan merawat dan menjaga Indonesia. Hubungan Indonesia dengan NU adalah:
عموم وخصوص من وجه
Secara umum dan spesifik dari satu sudut pandang, NU sudah pasti bagian dari Indonesia. Namun, Indonesia tidak selalu identik dengan NU. Sebab, ada saudara-saudara kita yang sama-sama Indonesia, tetapi berasal dari Muhammadiyah, Persis, bahkan ada yang beragama Katolik, Buddha, dan Hindu. Mereka tetap Indonesia, meski bukan Nahdliyyin.
BACA JUGA:Â Gus Yahya Tak Keberatan Mundur dari Ketum PBNU
Karena itu, saya tegaskan kembali bahwa ber-NU berarti ber-Indonesia. Melalui NU, seseorang dapat menjaga nilai-nilai agama sekaligus merawat kehidupan berbangsa dan bernegara secara utuh.
Ungkapan di atas dapat dibuktikan melalui catatan Gus Dur tentang Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin. Pada saat itu, Muktamar dihadapkan pada sebuah pertanyaan penting: wajibkah bagi kaum muslimin mempertahankan kawasan yang ketika itu bernama Hindia Belanda (kini Indonesia), meskipun diperintah oleh orang-orang non-muslim (kolonialis Belanda)? Muktamar menjawab pertanyaan tersebut dengan tegas: wajib. Alasannya, karena di kawasan yang kelak bernama Indonesia itu, ajaran Islam dapat dipraktikkan secara bebas dalam kehidupan sehari-hari oleh warga bangsa, serta pada masa sebelumnya pernah berdiri kerajaan-kerajaan Islam di wilayah tersebut.
Fakta sejarah keputusan Muktamar NU ini memberi gambaran kepada kita betapa NU telah membela Indonesia bahkan sebelum Indonesia secara resmi berdiri. Saya meyakini, keputusan NU pada waktu itu tidak semata-mata didasarkan pada ilmu-ilmu dhohir, melainkan juga ditopang oleh bashiroh para ulama sepuh yang sangat kuat, sehingga mereka mampu melihat secara intuisi bahwa Indonesia akan lahir sebagai sebuah bangsa.
Dalam satu kaedah fiqih disebutkan:
ما غلب وجوده جعل كالموجود ØÙƒÙ…ا إن لم يوجد
Sesuatu yang ghalib wujudnya (kemungkinan besar akan terwujud) maka dijadikan hukumnya laksana sudah terwujud, walaupun pada waktu itu belum terwujud.






