Pangeran Mangkunegaran X Turun Kasta dari Raja Demi Walikota?

Dinasti Pakubuwono, yang dianggap memiliki kedudukan lebih tinggi dalam adat Surakarta, mungkin melihat pencalonan ini sebagai ancaman. Akibatnya, beberapa pihak menyebut langkah yang dilakukan Gusti Bhre tidak etis dan dapat memicu konflik dengan Susuhunan Pakubuwono.

Sejarah Kepemimpinan di Surakarta

Sejak kemerdekaan, Kota Surakarta selalu dipimpin oleh masyarakat non-bangsawan. Keluarga keraton biasanya hanya menjalankan peran simbolis dalam aspek sosial dan kultural. Oleh karena itu, langkah Gusti Bhre untuk terjun ke politik praktis ini dianggap sebagai perubahan besar dari tradisi yang ada.

Lalu, pertanyaan muncul: Mengapa Gusti Bhre, seorang Pangeran Mangkunegaran, harus turun gunung dan ikut bertarung dalam perhelatan demokrasi untuk merebut posisi sebagai orang nomor satu di Kota Surakarta? Apakah ada kepentingan lebih besar yang ia perjuangkan?

Tak hanya itu, kejadian ini juga mengingatkan pada Peristiwa Perjanjian Salatiga tahun 1757, di mana Pangeran Sambernyawa memimpin pertempuran yang membagi Surakarta dan mengangkatnya menjadi Mangkunegara I.

Maka dengan demikian, pertikaian di masa lalu antara Pakubuwono dan Mangkunegara kemungkinan bakal terulang kembali gara-gara Pilwalkot Solo 2024 ini.

BACA JUGA: Kadernya Ditinggalkan, AHY Malah Dukung Andra-Dimyati di Pilkada Banten 2024

Penentunya adalah masyarakat. Apakah masyarakat menginginkan Gusti Bhre tetap di singgasana luhurnya menjadi raja dan menjaga keharmonisan keraton, atau menjalani takdirnya sebagai trah penguasa Surakarta, pewaris darah Pangeran Sambernyawa? Kita tunggu perkembangan Pilwalkot Solo 2024 nanti.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *