Temuan
Dalam sebuah talkshow televisi swasta, Saddam mengungkapkan bahwa dua minggu sebelum bencana terjadi, Presiden telah membentuk Satgas PKH (Penertiban Kawasan Hutan) sebagai langkah pencegahan dini. “Satgas PKH merupakan early warning system untuk mengawal kondisi kawasan hutan. Presiden sudah memprediksi perlunya pengawasan ketat,” ujarnya, Selasa (2/12/2025).
Saddam juga menyoroti temuan di lapangan berupa banyaknya gelondongan kayu yang terseret banjir—indikasi kuat adanya kerusakan hutan di hulu. Satgas PKH terdiri dari lintas lembaga, mulai dari kementerian teknis hingga aparat penegak hukum, untuk memastikan pencegahan dan penindakan berjalan maksimal.
Sejalan dengan peringatan Presiden dan analisis KSP, aktivis lingkungan dari WALHI, Melva Harahap, menegaskan bahwa bencana banjir bandang dan longsor di Sumatera Barat tidak bisa dilepaskan dari kerusakan lingkungan yang sudah berlangsung lama.
Menurut data WALHI, lebih dari 1,4 juta hektare tutupan hutan di Indonesia telah hilang dalam beberapa tahun terakhir. “Ini bukan bencana murni, tapi konsekuensi dari perilaku merusak alam. Kami siap membantu membuka data perusahaan yang teridentifikasi memperparah kerusakan di wilayah tersebut,” ujar Melva.
Melva menilai langkah pemerintah membentuk Satgas PKH merupakan awal yang baik, namun harus diikuti penegakan hukum yang tegas dan transparansi data agar upaya pemulihan dapat berjalan efektif.
Masyarakat korban bencana berharap pemerintah tidak hanya memberi bantuan jangka pendek, tetapi juga memperbaiki ekosistem hutan, aliran sungai, serta tata ruang wilayah agar bencana serupa tidak terus berulang.
BACA JUGA: Polisi Banten Diduga Todong Senpi saat Tangkap Kyai dan Santri Padarincang, Padahal Bukan Teroris
Dengan peringatan keras Presiden, dukungan teknis Satgas PKH, serta desakan dari kelompok lingkungan, publik berharap momentum ini menjadi titik balik penanganan kerusakan hutan yang selama ini menjadi pemicu utama bencana hidrologi di banyak daerah Indonesia.






