RUANGBICARA.co.id – Kesepakatan nuklir penting antara Iran dan Amerika Serikat pernah tercapai di Wina, Austria, pada 14 Juli 2015 lalu, setelah melalui negosiasi panjang.
Perjanjian ini melibatkan lima negara besar, yaitu Rusia, Prancis, Inggris, Tiongkok, dan Jerman, serta memberi Iran izin untuk mengembangkan energi nuklir untuk tujuan damai.
Namun, perjanjian ini datang dengan pembatasan tertentu, salah satunya adalah akses penuh bagi inspektur Badan Energi Atom Internasional (IAEA) untuk memantau kepatuhan Iran terhadap kesepakatan tersebut.
Kesepakatan ini memicu pro dan kontra. Pihak yang mendukung, termasuk Presiden AS kala itu, Barack Obama, berpendapat bahwa perjanjian ini akan mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir serta membawa stabilitas bagi kawasan Timur Tengah.
BACA JUGA:Â Mengapa Putin Selalu Menang dalam Pemilu Rusia?
Namun, oposisi yang datang dari Partai Republik AS, Israel, dan beberapa negara mayoritas Sunni di Timur Tengah, khawatir bahwa Iran bisa memanfaatkan pencabutan sanksi untuk kepentingan militer dan memperkuat kelompok milisi.
Kini, ketegangan kembali meningkat setelah Presiden AS, Donald Trump, mengancam untuk menyerang infrastruktur nuklir Iran.
Trump menyatakan bahwa jika Iran tidak mencapai kesepakatan mengenai program nuklirnya, negara itu akan menghadapi serangan udara besar-besaran. Selain itu, ancaman sanksi ekonomi juga kembali mengemuka sebagai tekanan tambahan bagi Iran.

 
																						




