Putusan MK Larang Wamen Jadi Komisaris Tak Digubris Prabowo

RUANGBICARA.co.id, Jakarta – Atmosfer demokrasi yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan prinsip meritokrasi, nyatanya kembali disuguhi ironi. Bagaimana tidak, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri ternyata tak digubris pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Padahal, persoalan rangkap jabatan sudah lama menjadi sorotan lantaran berpotensi menimbulkan conflict of interest (konflik kepentingan), bahkan merusak semangat profesionalisme yang diidam-idamkan selama ini.

BACA JUGA: Cak Imin Sindir 30 Wakil Menteri Prabowo yang Rangkap Komisaris BUMN

Dalam putusannya, MK mengeluarkan Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019, yang kemudian dikuatkan kembali dalam Putusan 21/PUU-XXIII/2025, dengan bunyi tegas: “Seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri.

Seharusnya, putusan tersebut menjadi dasar hukum kuat yang melarang wamen duduk di kursi komisaris perusahaan milik negara (BUMN). Alih-alih melarang, MK ternyata tak bisa mempertimbangkan permohonan karena pemohonnya, Juhaidy Rizaldy Roringkon, telah wafat. Alhasil, aspek kerugian konstitusional dianggap gugur secara hukum. “Karena pemohon telah meninggal dunia, maka seluruh syarat anggapan kerugian konstitusional tidak terpenuhi,” ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam sidang, Kamis (17/7/2025).

Putusan Harusnya Mengikat

Sebabnya. lebih dari 30 wakil menteri tercatat tetap bertengger sebagai komisaris BUMN. Tapi, salah satu pakar beranggapan bahwa putusan sebelumnya tetap sah dan mengikat. Terlebih, putusan MK sangat jelas dan tidak membuka ruang untuk multitafsir.

“Pada dasarnya, putusan nomor 80 itu sudah tegas bahwa sebagaimana menteri, maka wamen tidak boleh rangkap jabatan. Jadi tidak ada perdebatan,” tegas pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari.

Feri juga menanggapi alasan pemerintah yang menyatakan bahwa larangan tak tercantum dalam amar putusan. Menurutnya, itu adalah bentuk ketidakpahaman atas hukum acara. “Istana juga harus belajar apa itu putusan peradilan. Putusan itu satu kesatuan utuh, tidak bisa dipisahkan antara amar dan pertimbangan,” tegasnya.

Namun hal itu seolah tak menjadi pertimbangan bagi Presiden Prabowo dan para pembantunya. Bahkan, dukungan atas rangkap jabatan justru datang dari lingkar dalam kekuasaan. Sebut saja namanya: Muhaimin Iskandar, Menko Pemberdayaan Masyarakat sekaligus Ketua Umum PKB, menyatakan dukungannya secara terbuka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *