RUANGBICARA.co.id – Setiap organisasi yang berhasil pasti memiliki satu kesamaan: arah yang jelas. Namun, di balik kesuksesan itu, ada satu rahasia yang kerap luput dari perhatian banyak orang — sasaran operatif.
Sasaran ini bukan sekadar jargon manajemen, melainkan elemen kunci yang menentukan bagaimana visi besar organisasi diterjemahkan menjadi langkah nyata sehari-hari.
Bayangkan sebuah kapal tanpa kompas. Begitulah organisasi tanpa sasaran. Menurut Andreas Budihardjo, dalam jurnalnya yang berjudul Pendekatan Sistemik pada Telaah Organisasi yang dimuat di Forum Manajemen Prasetiya Mulya (1997), sasaran adalah elemen penting yang mengarahkan seluruh aktivitas dan perilaku anggota organisasi.
BACA JUGA: Bertahan Hidup atau Mati? Ini 25 Rekomendasi Film Survival yang Paling Gila dan Realistis
Namun, ia menegaskan bahwa tidak semua sasaran memiliki fungsi yang sama. Dalam pandangannya, sasaran organisasi terbagi menjadi dua: sasaran resmi (official goals) dan sasaran operatif (operational goals).
Apa Bedanya?
Sasaran resmi biasanya tercantum dalam visi, misi, atau dokumen strategis perusahaan. Ia bersifat ideal dan sering kali menjadi panduan arah umum organisasi. Misalnya, perusahaan dapat memiliki sasaran resmi seperti “menjadi pemimpin pasar di bidang teknologi” atau “meningkatkan kompetensi sumber daya manusia.”
Namun, Drs. Budihardjo menekankan bahwa sasaran resmi hanyalah permukaan dari tujuan yang lebih dalam. Di baliknya, terdapat sasaran lain yang jauh lebih konkret dan bisa diukur hasilnya, yaitu sasaran operatif.
Sasaran operatif inilah yang menjadi ukuran nyata dari aktivitas organisasi.
Sasaran Operatif
Sasaran operatif mencerminkan kegiatan yang benar-benar dijalankan dalam keseharian organisasi. Ia bersifat realistis, terukur, dan menjadi dasar bagi manajemen untuk menilai efektivitas kerja.
Contohnya, target pelatihan karyawan, peningkatan produktivitas, atau pencapaian penjualan dalam waktu tertentu. Semua ini merupakan bentuk nyata dari sasaran operatif.
Namun, Drs. Budihardjo juga mengingatkan bahwa banyak organisasi sering kali menetapkan sasaran yang terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan kemampuan sumber daya yang ada. Ia mencontohkan, “Perusahaan menargetkan pelatihan 200 jam per tahun untuk setiap manajer. Nyatanya, itu sulit dicapai karena keterbatasan waktu dan biaya.”
Karena itu, menurutnya, sasaran operatif harus disusun berdasarkan kondisi riil agar mudah diukur dan dicapai.






