Lawan Rasisme dan Korupsi
Meski harus meninggalkan tanah air, Christianto tetap mengikuti perkembangan Indonesia. Ia sempat menjadi pelobi di Washington DC untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia di kancah global. Namun karena posisinya itu, ia batal masuk dalam reshuffle Kabinet Persatuan Nasional Presiden Abdurrahman Wahid.
Christianto percaya bahwa dua penyakit bangsa yang harus diberantas adalah rasisme dan korupsi. “Saya sangat tersinggung, karena bunyinya sangat rasis. Padahal saya sejak 1966 ikut memperjuangkan realisme politik,” jelasnya.
Ia berharap generasi muda bisa memutus rantai kebusukan tersebut. “Setiap era akan melahirkan pemimpinnya,” tambahnya, sembari mencontohkan munculnya tokoh seperti Grace Natalie di panggung politik.
Perjalanan Panjang
Diketahui, Christianto Wibisono atau Oey Kian Kok lahir pada 10 April 1945. Ia adalah pendiri PDBI dan pernah menjadi asisten Wakil Presiden Adam Malik untuk urusan diplomasi global. Ia juga pernah bergabung dalam Komite Ekonomi Nasional pada era Presiden SBY.
Karier jurnalistiknya dimulai dari Harian KAMI tahun 1966, lalu mendirikan mingguan Ekspres bersama Gunawan Mohammad yang menjadi cikal bakal Tempo.
Sebelum wafat pada 22 Juli 2021, Christianto aktif memberi masukan kebijakan publik dan menjadi penasihat Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Ia juga dikenal sebagai pemikir tajam yang memperjuangkan demokrasi dan akal sehat.
Terakhir, Christianto meninggalkan pesan penting untuk bangsa ini. Ia mengingatkan agar masyarakat belajar dari sejarah dan tidak kembali pada rezim otoriter.
BACA JUGA: Subsidi BBM dan LPG Jadi Prioritas Direksi Baru Pertamina Patra Niaga
“Kita tidak ingin kembali ke rezim otoriter. Demokrasi harus terus dijaga dengan akal sehat dan hati yang jernih,” tegasnya.