RUANGBICARA.co.id, Jakarta – Pulau Sumatera kembali memasuki masa kelam. Dalam beberapa hari terakhir, rangkaian bencana hidrologi mulai dari banjir bandang, longsor, hingga angin badai mengepung sejumlah wilayah seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, hingga Aceh. Fasilitas umum rusak, rumah-rumah warga tersapu air bah, dan laporan korban jiwa telah mencapai belasan orang, sementara masih banyak warga dinyatakan hilang dan belum ditemukan hingga Jumat (28/11/2025).
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap bahwa salah satu pemicu utama situasi ini adalah bibit siklon yang memicu cuaca ekstrem di sekitar Sumatera. Kombinasi hujan berintensitas tinggi, angin kencang, dan kelembapan ekstrem menciptakan kondisi yang ideal untuk terjadinya banjir besar dan longsor.
BACA JUGA: Ditetapkan Darurat Bencana, Mualem Minta Helikopter Kapolda Aceh untuk Peninjauan Wilayah Terisolasi
Namun, penjelasan meteorologis ini tidak menghentikan gelombang kritik di media sosial. Warganet menilai bencana yang terjadi bukan hanya soal cuaca, tetapi juga soal kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada kelestarian lingkungan.
Salah satu isu yang kembali mencuat adalah kerusakan massif kawasan Hutan Tesso Nilo, salah satu ekosistem hutan dataran rendah tersisa di Sumatera. Netizen menyoroti bahwa berbagai izin dan praktik pembukaan lahan selama bertahun-tahun telah membuat ekosistem kawasan ini dan banyak area lain di Sumatera melemah secara struktural. Ketika hujan ekstrem datang, tanpa perlindungan tutupan hutan, air tidak lagi tertahan dan bencana pun tak terhindarkan.
“Ini bukan sekadar siklon. Hutan Sumatera sudah lama diperlakukan seperti halaman belakang tanpa penjaga,” tulis salah satu pengguna X yang cuitannya viral.
Dalam derasnya kritik tersebut, publik kembali mengungkit momen wawancara Zulkifli Hasan—yang kini menjabat sebagai Menko Pangan (saat itu menjabat sebagai Menteri Kehutanan)—dengan aktor Hollywood Harrison Ford pada 2013 silam dalam program dokumenter tentang deforestasi.
Pada saat itu, percakapan memanas karena Ford terus menekan soal kerusakan hutan Indonesia. Momen itu kini kembali beredar, dianggap relevan dengan situasi Sumatera hari ini.
“Sepuluh tahun berlalu, masalahnya tetap sama, hutan hilang, bencana datang,” tulis seorang warganet yang menyebarkan ulang potongan wawancara tersebut.
Percakapan lama itu kini dijadikan simbol bahwa peringatan mengenai deforestasi bukan isu baru. Publik merasa bahwa bencana di Sumatera bukan hanya musibah alam, tetapi akumulasi dari kebijakan yang membiarkan pembukaan lahan besar-besaran atas nama industri.
Di kolom komentar media sosial, warganet mendesak pemerintah untuk tidak hanya menyoroti faktor cuaca, tetapi juga memperbaiki tata kelola hutan yang selama ini dibiarkan kritis. Beberapa aktivis lingkungan menegaskan bahwa tanpa perbaikan struktural, bencana serupa akan terus berulang bahkan semakin buruk.
“Cuaca ekstrem bisa datang kapan saja. Tapi yang membuat kita rentan adalah hutan yang habis,” ungkap salah satu aktivis.
Sementara evakuasi masih berlangsung dan warga di berbagai daerah masih mengungsi, perdebatan mengenai akar masalah bencana di Sumatera terus mengalir deras. Publik menanti langkah nyata pemerintah, bukan hanya pernyataan teknis atau saling lempar tanggung jawab.






