Subjek Pembangunan
Lebih lanjut, William menyoroti ketimpangan kebijakan global yang kian melebar. Ia menegaskan bahwa G20 harus berhenti memfokuskan diri semata pada pertumbuhan ekonomi, dan mulai menempatkan pekerja sebagai pusat pembangunan.
“Negara berkembang seperti Indonesia tidak bisa terus dibebani oleh skema yang berat sebelah,” tegasnya.
Sementara itu, sejumlah isu menjadi fokus utama di hari pertama L20 Summit 2025, di antaranya ketimpangan dalam pemulihan pasca-pandemi, krisis geopolitik global, serta kebutuhan mendesak akan transisi hijau yang adil (just transition). Dalam sesi bertema “Kebijakan Industri Hijau dan Transisi yang Adil,” delegasi Indonesia menekankan pentingnya perlindungan sosial bagi pekerja sektor terdampak seperti tambang dan energi fosil.
“Kita tidak bisa bicara tentang keberlanjutan tanpa keadilan. Transisi hijau harus melibatkan pekerja dari awal, dengan jaminan pelatihan, perlindungan pendapatan, dan pekerjaan baru yang layak,” jelas William, yang juga sedang menempuh pendidikan S3 di IPDN.
Di samping itu, L20 turut menyoroti dampak negatif perdagangan bebas terhadap eksploitasi pekerja dan kerusakan lingkungan. Para peserta forum mendesak agar semua perjanjian dagang ke depan wajib memasukkan perlindungan hak-hak dasar pekerja sesuai standar ILO, serta melibatkan serikat pekerja dalam setiap proses perundingan.
Kemudian, sesi panel pada hari pertama membahas krisis geopolitik, reformasi multilateralisme, dan pentingnya kebijakan industri hijau yang menjamin transisi adil. Para pembicara sepakat bahwa G20 harus membuka ruang lebih luas bagi keterlibatan pekerja dalam proses penyusunan kebijakan global.
BACA JUGA: Kurangi Impor, Kuasai Ekspor: Ini Strategi Indonesia Bangun Kemandirian Perkeretaapian
Sebagai penutup, L20 Summit 2025 akan berlangsung selama dua hari dan dihadiri oleh perwakilan serikat buruh dari seluruh dunia. Forum ini menjadi jembatan penting dalam mengangkat aspirasi pekerja agar lebih terdengar di meja-meja kekuasaan G20.