RUANGBICARA.co.id, Jakarta – Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Arie Gumilar, menilai bahwa kebijakan yang membuka peluang bagi warga negara asing (WNA) menduduki posisi direksi di badan usaha milik negara (BUMN) berpotensi mengancam sistem pertahanan nasional dan melemahkan kedaulatan bangsa.
Menurutnya, penempatan WNA di jabatan strategis BUMN bukanlah solusi untuk memperbaiki tata kelola perusahaan pelat merah. Sebaliknya, hal itu justru dapat menimbulkan risiko kebocoran informasi strategis negara yang dikelola oleh BUMN, seperti energi dan pertahanan ekonomi nasional.
BACA JUGA: Mengapa WNA Cina Terdakwa Pencurian Emas 774 kg Divonis Bebas? Begini Faktanya
“BUMN seperti Pertamina dan PLN itu mengelola cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kalau direksinya WNA, itu bukan sekadar urusan bisnis, tapi sudah menyentuh aspek pertahanan nasional,” tegas Arie dalam wawancara eksklusif bersama Ruang Bicara di kantornya, Jakarta, Kamis (30/10/2025).
Arie menjelaskan, meski secara hukum positif WNA yang bekerja di Indonesia tunduk pada hukum nasional, tetap ada potensi konflik kepentingan karena setiap negara wajib melindungi warganya.
“Kalau terjadi sesuatu, negara asal WNA itu pasti hadir untuk melindungi. Nah, bagaimana kalau orang itu memiliki akses ke data strategis BUMN? Ini jadi sangat berbahaya,” ujarnya.
Ia menambahkan, posisi direksi tidak sama dengan konsultan atau staf ahli. Direksi memiliki akses penuh terhadap keputusan strategis perusahaan dan informasi vital yang bisa berdampak terhadap kedaulatan negara.
“Boleh orang asing datang sebagai mitra, konsultan, atau staf ahli. Tapi jangan sampai punya akses penuh terhadap sistem dan data nasional,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Arie menegaskan bahwa Indonesia memiliki banyak sumber daya manusia (SDM) unggul yang mampu bersaing secara global.
“Kita punya banyak anak bangsa yang sudah terbukti di dunia internasional—ada yang jadi ilmuwan di Jepang, dokter di Harvard, dan insinyur kelas dunia. Mereka hanya butuh kesempatan dan kepercayaan,” katanya.
Ia menilai, bila tujuan pemerintah adalah transfer teknologi dan knowledge, maka hal itu bisa dilakukan melalui program pelatihan, beasiswa luar negeri, atau kerja sama internasional tanpa harus menempatkan WNA di posisi strategis.
“Kita bisa kirim talenta muda ke luar negeri untuk belajar, lalu kembali dan menerapkan ilmu di BUMN. Tidak perlu mengimpor orang asing untuk jabatan strategis,” jelas Arie.
Langkah FSPBB
Di sisi lain, Arie juga menilai akar persoalan BUMN bukan pada kemampuan SDM, tetapi pada tumpang tindih regulasi. Menurutnya, reformasi harus dilakukan pada sistem dan aturan hukum, bukan sekadar mengganti orang di posisi strategis.
“Peraturan di bawah sering bertentangan dengan peraturan di atas. Jadi yang harus direformasi itu tata kelola dan regulasinya, bukan mendatangkan orang asing,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, FSPPB tengah menyiapkan policy brief sebagai masukan resmi kepada DPR dan pemerintah terkait isu ini, bahkan membuka opsi melakukan kajian hukum atau judicial review bila kebijakan tersebut diterapkan tanpa kajian mendalam.
Menutup wawancara, Arie mengingatkan bahwa keterbukaan terhadap kerja sama internasional tidak boleh mengorbankan prinsip kedaulatan dan martabat bangsa.
“Kita tidak boleh anti asing, tapi jangan sampai kehilangan jati diri. Transfer pengetahuan penting, tapi kedaulatan negara jauh lebih penting,” pungkasnya.






