RUANGBICARA.co.id, Jakarta – Ancaman siber terhadap pertahanan dan infrastruktur vital Indonesia dinilai semakin meningkat seiring percepatan transformasi digital. Serangan yang menyasar jaringan listrik, sistem perbankan, dan layanan publik kini berpotensi mengganggu aktivitas ekonomi serta mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
Merespons kondisi tersebut, Spentera menggelar Cyberwolves Con 2025 pada 11 September 2025. Acara ini menghadirkan praktisi keamanan siber, akademisi, regulator, dan komunitas teknologi. Forum tersebut membahas strategi penguatan ketahanan siber nasional di tengah meningkatnya risiko digital.
BACA JUGA: Dana Rp 6,5 Miliar Diduga Raib dari Rekening, Nasabah Gugat BNI ke Pengadilan
Direktur Spentera, Royke L. Tobing, mengatakan kolaborasi lintas sektor menjadi elemen kunci dalam menghadapi ancaman siber yang semakin canggih.
“Kami menyoroti perlindungan terhadap infrastruktur energi, ICS dan SCADA, risiko AI, serta kesiapan menghadapi tantangan digital ke depan,” kata Royke dalam keterangannya, Kamis (11/12/2025).
Dalam diskusi panel, para narasumber menilai sektor energi menjadi salah satu titik paling rentan. Jaringan listrik Jawa–Bali yang memasok lebih dari 60 persen kebutuhan nasional disebut masih menggunakan sejumlah perangkat lama, protokol SCADA tanpa enkripsi, serta antarmuka sistem yang terhubung ke internet. Kondisi tersebut membuka celah serangan bagi aktor negara maupun kelompok kriminal.
Pemadaman besar pada 2019 serta gangguan jaringan di Bali pada 2025 disebut menjadi pengingat penting mengenai dampak serangan terhadap infrastruktur energi. Para pakar menekankan perlunya audit berkala serta peningkatan perlindungan pada sistem ICS/SCADA yang menopang aktivitas industri dan publik.
Selain itu, pemanfaatan kecerdasan buatan (AI/ML) yang semakin luas di sektor finansial, telekomunikasi, hingga pertahanan dinilai membawa risiko baru. Penggunaan model dan data tanpa verifikasi ketat serta ketergantungan pada teknologi impor disebut dapat membuka kemungkinan manipulasi sistem.
Para praktisi juga menyoroti lemahnya kesiapan tanggap insiden di berbagai institusi. Deteksi ancaman yang lambat, pencatatan forensik yang belum konsisten, dan koordinasi unit yang terfragmentasi dinilai menghambat pemulihan saat serangan terjadi. Insiden ransomware pada Pusat Data Nasional pada 2024 disebut sebagai bukti pentingnya respons cepat dan terkoordinasi.
Royke menekankan bahwa ancaman siber harus dipandang sebagai isu strategis.
“Dampaknya bukan hanya pada infrastruktur, tetapi juga stabilitas ekonomi dan kepercayaan publik,” katanya.












