Badan Publik Diminta Sediakan Akses Informasi Ramah Difabel

RUANGBICARA.co.id, Jakarta — Isu keterbukaan informasi publik kini mendapat sorotan baru. Dalam Pameran Keterbukaan Informasi Publik (KIP) 2025 yang digelar di Jakarta pada Kamis (16/10/2025), perhatian publik tertuju pada pentingnya akses informasi yang ramah bagi penyandang disabilitas.

Dalam kesempatan itu, Yustitia M. Arief, Founder sekaligus Direktur Advokasi Inklusi Disabilitas Indonesia (AUDISI), menegaskan bahwa banyak badan publik belum memahami pentingnya aksesibilitas informasi untuk kelompok disabilitas. Menurutnya, masih ada stigma yang berkembang bahwa penyandang disabilitas tidak perlu mendapatkan informasi publik.

BACA JUGA: Lemhannas Sukses Sabet Information Transparency Award di Pameran KIP 2025

“Masih banyak yang berpikir, ‘disabilitas mau ngapain sih minta informasi ini, minta informasi itu?’ Padahal sebagai warga negara, kita punya hak yang sama,” ujar Yustitia kepada Ruang Bicara usai mengisi seminar bertema Pemenuhan Hak Akses Publik bagi Kelompok Rentan dalam Pameran KIP 2025.

Lebih lanjut, Yustitia menekankan bahwa badan publik wajib menyediakan berbagai bentuk aksesibilitas, baik dari sisi informasi maupun infrastruktur. “Badan publik itu harus menyediakan semua aksesibilitas, termasuk misalnya Braille atau bahasa isyarat,” jelasnya.

Selain sarana fisik, lanjutnya, petugas yang bekerja di badan publik juga perlu memahami cara berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Dengan demikian, stigma dan diskriminasi bisa dihapus secara bertahap.

Pembuka Kesadaran

Yustitia mengapresiasi penyelenggaraan Pameran KIP 2025 yang menurutnya menjadi momen penting dalam membangun kesadaran publik. Ia menyebut kegiatan ini sebagai “eye-opener” karena mampu membuka mata banyak pihak tentang pentingnya inklusi.

“Ini event yang bagus banget, karena membuka mata bahwa ada kelompok masyarakat yang juga harus kita sertakan agar tidak ada yang tertinggal,” ungkapnya.

Menurut Yustitia, regulasi di Indonesia sebenarnya sudah cukup kuat dalam melindungi hak penyandang disabilitas. “Sekarang ini kan kita berbasis pada hak asasi manusia, bukan lagi belas kasihan. Regulasi kita sudah mendukung, baik undang-undang, peraturan pemerintah, maupun keputusan menteri,” tegasnya.

Namun, ia menilai implementasi di lapangan masih jauh dari ideal. Banyak website pemerintah yang belum ramah difabel, terutama bagi pengguna tunanetra. “Begitu teman-teman netra buka website, mereka tidak tahu isinya. Tidak ada audio, tidak ada fitur pembaca layar. Ini harus segera diperbaiki,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *