-
Julius Anggito Tri Priharto dan Asep Ramdani masing-masing memiliki 50% saham di PT Mulia Raymond Perkasa.
-
Yulan Aulia Fathanna dan Yusuf Abdullah masing-masing memiliki 50% saham di PT Nurham.
“Apakah mungkin Menteri Bahlil tidak tahu? Semua data ini ada di depan mata. Kenapa hanya Antam yang disalahkan?” ujar Hengki menegaskan.
Sebagai penutup, Hengki menyampaikan bahwa dua dari lima pulau yang digunakan untuk tambang, yakni Pulau Kawei dan Pulau Manyaifun, termasuk dalam kawasan UNESCO Global Geopark (UGGP) Raja Ampat.
BACA JUGA: CNGR Tembus Pasar Eropa Lewat Nikel Murni dari Indonesia
“Karena itu, kasus tambang ini seharusnya menjadi tanggung jawab penuh Kementerian ESDM, Kementerian LHK, Kementerian KKP, dan Pemerintah Kabupaten Raja Ampat,” tegas Hengki.
Pengakuan Bahlil
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa izin usaha pertambangan (IUP) produksi untuk menambang nikel di Raja Ampat telah diterbitkan sejak tahun 2017. Perusahaan pemegang izin ini mulai beroperasi pada tahun berikutnya, yaitu 2018.
“Sebelum perusahaan mulai beroperasi, tentu sudah ada Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan). Jadi Amdalnya sudah tersedia,” ujar Bahlil dalam keterangan tertulis pada Jumat (6/6/2025).
Bahlil juga menuturkan bahwa perusahaan yang menjalankan tambang tersebut adalah PT GAG Nikel. Perusahaan ini merupakan pemegang Kontrak Karya Generasi VII dengan Nomor B53/Pres/I/1998 yang ditandatangani pada 19 Januari 1998 oleh Presiden saat itu.
Pada awalnya, mayoritas saham PT GAG Nikel dimiliki oleh Asia Pacific Nickel Pty. Ltd. sebesar 75 persen, sedangkan PT Aneka Tambang (ANTAM) memiliki 25 persen saham. Namun, pada 2008, PT ANTAM mengakuisisi seluruh saham APN Pty. Ltd. sehingga kini menjadi pemilik penuh perusahaan tersebut.
Kemudian, Bahlil menegaskan bahwa penerbitan IUP tersebut tidak dilakukan pada masa jabatannya sebagai menteri.
“Perlu saya luruskan, saat izin usaha pertambangan itu keluar, saya masih menjabat sebagai Ketua Umum HIPMI dan belum masuk ke kabinet,” jelasnya.












