Dari ujung barat Indonesia, Illiza Sa’aduddin Djamal, mantan Wali Kota Banda Aceh dua periode (2014–2017 dan 2025–2030), juga mempertahankan basis PPP di Aceh I. PPP memboyong 137.835 suara, yang seharusnya berhak atas kursi kelima dari tujuh kursi tersedia.
Nama lain, Nurhayati Effendi, sejak 2014 menjadi anggota DPR-RI. Ia kembali terpilih di dapil Jawa Barat XI dengan raihan 271.085 suara, yang seharusnya duduk di kursi kelima dari sepuluh kursi. Namun PPP kembali terbentur ambang batas.
Tak ketinggalan Anas Thahir, anggota DPR-RI dua periode yang mewakili Jawa Timur III (Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo). PPP memperoleh 153.261 suara dan seharusnya berhak atas kursi kelima dari tujuh kursi tersedia.
Di Sulawesi Selatan II, Muhammad Aras yang juga incumbent berhasil memperoleh 171.049 suara, seharusnya berhak atas kursi keempat dari sembilan kursi yang ada.
Dari Jawa Tengah II, K.H. Rojih Ubab Maimoen, cucu ulama kharismatik Mbah Moen, kembali terpilih dengan 158.051 suara, yang seharusnya menduduki kursi ketujuh.
Terakhir, Ermalena di dapil Nusa Tenggara Barat II berhasil mempertahankan posisinya sebagai incumbent dengan 153.261 suara, yang seharusnya berhak atas kursi keempat dari delapan kursi tersedia.
Mereka berdua belas adalah simbol keteguhan dan bukti bahwa PPP masih punya akar kuat di tengah masyarakat. Mereka sudah membuktikan kerja politik nyata, meski tidak bisa duduk di kursi DPR RI karena ambang batas parlemen.
Kini, setelah konflik internal selesai dan PPP merajut kembali persatuan, para pejuang elektoral ini wajib diberi ruang dan tempat terhormat. Mereka bukan sekadar kader, melainkan saksi sekaligus motor penggerak yang mampu menunjukkan bahwa PPP masih ada tempat di hati rakyat.
BACA JUGA:Â Andai Saja Mantan Koruptor Tak Ada Lagi, Mungkin PPP Lebih Baik
Islah hanyalah awal baru. Menghargai pengorbanan para pejuang inilah yang akan menentukan apakah PPP mampu bangkit kembali atau hanya mengulang sejarah pahit.