RUANGBICARA.co.id – Raja Ampat bukan hanya terkenal dengan keindahan alam bawah lautnya. Daerah ini juga menyimpan cadangan nikel yang cukup besar, karena letaknya berada di jalur sabuk nikel Indonesia bagian timur. Namun, baru-baru ini, publik heboh setelah muncul kabar soal keberadaan tambang nikel di wilayah ini.
Berdasarkan laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terdapat lima perusahaan yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat. Hanya satu di antaranya yang sudah beroperasi, sementara empat lainnya masih dalam tahap eksplorasi.
BACA JUGA:Â CNGR Tembus Pasar Eropa Lewat Nikel Murni dari Indonesia
“IUP di Raja Ampat itu ada beberapa, mungkin ada lima setelah saya mendapat laporan dari Dirjen,” kata Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM kepada media, Jakarta, Kamis (5/6/2025).
“Yang beroperasi sekarang itu hanya satu, yaitu PT GAG Nikel,” sambung Bahlil.
Berikut ini perusahaan yang memiliki IUP tambang nikel di Raja Ampat:
1. PT Gag Nikel
PT Gag Nikel merupakan satu-satunya perusahaan tambang nikel di Raja Ampat yang sudah beroperasi. Perusahaan ini merupakan anak usaha dari PT Aneka Tambang Tbk (Antam), bagian dari holding BUMN tambang, MIND ID.
Beroperasi di Pulau Gag dengan luas konsesi sekitar 6.030 hektare, PT Gag Nikel mengantongi Kontrak Karya Generasi VII sejak tahun 1998. Sejak 2008, kepemilikan perusahaan sepenuhnya berada di bawah PT Antam Tbk.
Saat ini, posisi Plt. Presiden Direktur dijabat oleh Arya Arditya Kurnia, sementara Aji Priyo Anggoro menjadi Direktur Keuangan. Komisaris utamanya adalah Hermansyah, didampingi beberapa komisaris lainnya.
Namun, lokasi tambang berada di pulau kecil, yang bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
2. PT KSM
PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) memiliki izin operasi produksi tambang nikel di Pulau Kawe, Distrik Waigeo Barat, Raja Ampat. Izin berlaku dari tahun 2013 hingga 2033, dengan luas konsesi mencapai 5.922 hektare.
Meski belum produksi, aktivitas tambang di Pulau Kawe dikhawatirkan bisa menyebabkan pulau kecil tersebut hilang dalam waktu 15 tahun akibat kerusakan ekosistem laut.
KSM juga menjadi salah satu dari tiga perusahaan yang mengantongi Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), namun tetap diawasi ketat oleh KLH/BPLH.