Fakta Lapangan
Ia menjelaskan, pulau-pulau tersebut juga dikelola oleh warga Aceh Singkil. Awalnya mereka berkebun kelapa, lalu berpindah ke daratan untuk bekerja di perkebunan sawit. Dalam hal administrasi, masyarakat pulau mengikuti Pemilu berdasarkan wilayah Singkil.
“Surat tanah dikeluarkan oleh BPN Aceh. Bahkan jika ada kasus nelayan seperti pukat harimau, diselesaikan oleh aparat hukum wilayah Aceh,” ungkapnya.
Selain itu, terdapat pula dermaga, situs sejarah, dan makam yang semuanya berhubungan dengan Aceh. Nama-nama pulau pun berasal dari Bahasa Jamee, salah satu bahasa daerah Aceh.
“Dengan begitu, jelas bahwa kepemilikan pulau-pulau tersebut adalah Aceh, bukan sekadar berdasarkan data geospasial,” tegasnya lagi.
Sarat Nuansa Politik?
Musdir mempertanyakan apakah ada muatan politik di balik pengalihan kepemilikan tersebut. Ia menilai permasalahan ini berakar dari pencatatan yang tidak tuntas sejak 2008, yang akhirnya memuncak di tahun 2025.
Menurutnya, peran media sosial membuat informasi cepat menyebar ke masyarakat. Hal ini bisa memicu keresahan jika rakyat Aceh merasa diabaikan oleh pemerintah pusat.
“Kalau sampai rakyat merasa kecewa dan tidak diperhatikan, bisa terjadi konflik kembali. Ini sangat tidak kita harapkan,” ucapnya.
Ia juga mengingatkan agar isu ini tidak ditunggangi oleh kepentingan politik.
“Hal-hal seperti ini sangat rawan dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang punya agenda politik tertentu di Aceh. Itu bisa merusak perdamaian,” kata Musdir.
Menanggapi pernyataan Gubernur Sumatera Utara yang ingin mengelola pulau-pulau tersebut bersama Pemerintah Aceh, Musdir memberikan catatan.
“Kepemilikan harus ditentukan lebih dulu. Siapapun boleh mengelola, tapi harus jelas dulu siapa pemiliknya. Pengelolaan dan kepemilikan itu dua hal berbeda,” tegasnya.
BACA JUGA: Empat Pulau Aceh ‘Diambil’ Sumut, JaGa Jakarta Kepung Kemendagri Tolak Aneksasi Wilayah
Terakhir, Musdir menambahkan bahwa pihak swasta, BUMN, BUMD, maupun investor asing bisa saja terlibat dalam pengelolaan, asal status kepemilikan tidak abu-abu. “Apalagi bukti-bukti sejarah dan administrasi sudah jelas, seharusnya dikembalikan kepada Aceh,” pungkasnya.

 
																						




