Beberapa tahun terakhir, Indonesia dihadapkan pada berbagai krisis yang saling berkelindan setiap sektornya. Baik itu krisis ekonomi, sosial, politik, lingkungan, maupun kesehatan menjadi isu-isu utama yang mengancam stabilitas negara.
Selain itu, sistem pendidikan yang seyogyannya berimplikasi pada peningkatan kualitas manusia juga belum sepenuhnya dapat adaptif dalam mengarungi derasnya arus globalisasi dewasa ini.
Isu-isu ini semakin kompleks dan saling terkait, menciptakan suatu kondisi yang mengarah pada sebuah krisis multidimensi. sebuah keadaan yang di mana masalah-masalah di berbagai sektor kehidupan saling memperburuk satu sama lain dan menciptakan spiral negatif yang sulit untuk dipulihkan.
Sebagai contoh, ketidaksetaraan ekonomi yang tinggi dapat menyebabkan ketegangan sosial, yang pada gilirannya dapat memicu ketidakstabilan politik. Begitu juga dengan kerusakan lingkungan yang mengancam ketahanan pangan dan kehidupan sosial, yang dapat memperburuk kualitas hidup masyarakat.
Ferry Irwandi, seorang akademisi dan pengamat sosial-politik, mengemukakan bahwa krisis ini tidak hanya disebabkan oleh masalah sektoral, tetapi juga merupakan akibat dari kegagalan sistemik dalam pengelolaan negara dan pemerintahan secara keseluruhan.
BACA JUGA: Melawan Perbudakan Spiritual
Dalam pandangannya, Indonesia menghadapi krisis yang lebih dari sekadar ketidakstabilan ekonomi atau konflik politik, melainkan merupakan sebuah krisis yang melibatkan banyak dimensi kehidupan yang saling berinteraksi dan memperburuk satu sama lain.
Salah satu faktor utama yang memperparah situasi adalah lemahnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya negara. Menurutnya, korupsi yang masih mengakar kuat di berbagai lembaga pemerintahan telah menghambat upaya reformasi dan menciptakan ketimpangan sosial yang semakin melebar.
Ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan sumber daya ekonomi juga menjadi pemicu ketidakpuasan sosial, yang pada akhirnya memunculkan berbagai bentuk instabilitas politik.
Secara keseluruhan, Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang berpotensi mengarah pada krisis multidimensi. Isu-isu di sektor ekonomi, sosial, politik, lingkungan, pendidikan, dan kesehatan saling terkait dan memperburuk keadaan secara bersamaan.
Oleh karena itu, untuk menghindari krisis multidimensi, diperlukan kebijakan yang holistik dan terintegrasi yang mampu mengatasi masalah secara menyeluruh.
Das Sollen Globalisasi
Globalisasi akhir-akhir ini tidak hanya membawa kemajuan teknologi yang misi awalnya memperingan pekerjaan manusia, bukan hanya memberikan kemudahan kita dalam mengakses keterbukaan informasi, tetapi juga menggerogoti nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Masyarakat kita semakin terbuai oleh budaya konsumerisme yang dipromosikan secara masif melalui media sosial, iklan, dan penetrasi pasar global. Budaya ini tidak hanya menyasar kota-kota besar, tetapi juga merambah pedesaan—tempat yang seharusnya menjadi benteng terakhir pelestarian tradisi, kearifan lokal, dan ritus keseharian yang sarat makna.
Globalisasi yang mestinya menjadi suatu proses integerasi dan interkoneksi antarnegara, masyarakat, dan budaya di seluruh dunia yang terjadi melalui proses pertukaran informasi, perdagangan, teknologi, investasi, migrasi, dan budaya dengan dukungan kemajuan teknologi terutama pada bidang transportasi, komunikasi, dan perdagangan bebas yang menisbikan batas-batas geografis serta diplomasi politik antarnegara kian pudar dari cita-cita luhurnya.
yang terjadi justru globalisasi mengintervensi masyarakat melalui kemudahannya dalam mengakses informasi ke budaya luar melalui media, internet, dan perdagangan, sehingga nilai-nilai lokal bisa tergeser atau berubah.
Beberapa budaya lokal tergerus arus budaya global yang tentu hal ini berdampak pada selera generasi muda hari ini yang inginnya mengikuti trend global dan berakhir pada budaya konsumerisme.
tentu hal ini berdampak secara langsung pada pergeseran nilai moral tradisional, semangat kebhinekaan dan solidaritas yang menjadi watak awal bangsa ini menjadi cenderung individualistis. degradasi moral akibat konsumsi berlebihan menumbuhkan sikap hedonisme, pragmatis dan kecanduan yang kontra produktif.
Indonesia Zaman now
Melihat keadaan hari ini, rasanya Indonesia menuju ke arah yang kurang baik-baik saja, pada saat krisis multidimensional 1998 yang gejalanya sudah di diagnosis sejak 1996, masyarakat Indonesia mendapati negara-nya dengan sekelumit masalah, dimulai dari situasi politik yang semrawut, korupsi, masalah ekonomi yang memicu inflasi, kekurangan pangan dan pengangguran massal.
Realitas hari ini seakan mengkonfirmasi ucapan Karl Marx bahwa sejarah memiliki pola yang berulang serta peristiwa-peristiwa sejarah dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan sosial.
Dewasa ini, kita sering membaca atau mendengar melalui pemberitaan massa maupun statement para aktivis terasan bahwa hampir semua aspek dilanda berbagai dinamika yang tak henti-hentinya menotifikasi beranda layar gadget kita.
Dimulai dari ekonomi, politik, lingkungan serta trend era disrupsi yang semakin mengaburkan keterfokusan kita pada realitas yang sebenarnya terjadi.
1. Krisis ekonomi yang mengintai
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan tekanan inflasi sana-sini seakan terjadi beriringan dengan arah diplomasi politik Indonesia, setelah diumumkannya bahwa Indonesia log-in sebagai member BRICS pada 7 Januari tahun ini, Indonesia mendapat penetrasi politik dari Amerika yang indikasinya variatif, salah satunya pergerakan harga saham yang diperdagangkan melalui Bursa Efek Indonesia akhir-akhir ini menjadi anjlok.
IHSG yang kemarin-kemarin collaps karena mayoritas pemegang saham dari UNVR(unilever), HM Sampoerna, MYOR(Mayora) adalah elit yang berafiliasi dengan politik AS dan Eropa membuat pergerakan harga saham di Indonesia cenderung terjun bebas atas dampak dari sikap politik indonesia.
Disisi internal, Negara ini belum bisa keluar dari zona Middle income trap, yang terjadi justru pemutusan hubungan kerja secara massal yang dilakukan berbagai PT (Perseroan Terbatas) akhir- akhir ini semakin mengurangi jumlah daftar masyarakat kelas menengah di Indonesia.
Dilansir dari media bisniscom (27/2) tercatat kurang lebih 10 juta jiwa veteran kelas menengah menghilang dari lane yang asalnya 57,33 (21,45% dari populasi penduduk Indonesia) mengalami penurunan ke angka 47,85 juta (17,13%), sialnya10 juta jiwa ini bukan menjadi kelas menengah atas apalagi kelas atas melainkan menjadi masyarakat rentan miskin atau baiknya kita sebut dengan prasejahtera.
Selain itu, harga bahan pokok yang cenderung memanjat dari tiap-tiap HET (Harga eceran tertinggi) Dan tren frugal living yang mengkonfirmasi menurunnya daya beli masyarakat kita, ditambah situasi lebaran kali ini dirasa lesu yang divalidasi melalui menurunnya jumlah pemudik yang asalnya pada tahun lalu sebanyak 193,6 juta jiwa menjadi 146,48 juta jiwa menjadi serta perputaran uang semasa libur lebaran kali ini hanya137,9T turun sekitar 20T dari 157,3T pada tahun lalu.
Kelangkaan komoditas seperti beras, minyak goreng, gula juga ikut mewarnai keriuhan masyarakat atas keadaan ekonomi yang memburuk. Kebijakan impor yang masih saja merugikan para petani Indonesia belum terlihat berpihak pada cita-cita kemerdekaan bangsa.
Ditambah nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) baru-baru ini mengalami penurunan signifikan, mencapai level terendah sejak krisis finansial Asia 1998. Pada 25 Maret 2025, rupiah melemah hingga Rp16.640 per dolar AS, mendekati rekor terendah Rp16.800 yang terjadi pada Juni 1998.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pelemahan rupiah antara lain:
- Kekhawatiran terhadap kebijakan fiskal pemerintah:
Program-program yang diusulkan oleh Presiden Prabowo Subianto, seperti inisiatif makan gratis senilai $28 miliar per tahun untuk anak sekolah dan ibu hamil, menimbulkan kekhawatiran investor mengenai defisit anggaran dan pertumbuhan ekonomi yang melambat.
- Ketidakpastian global:
Kondisi ekonomi global yang tidak menentu turut memberikan tekanan pada mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia.
Bank Indonesia (BI) telah melakukan intervensi di pasar valuta asing dan obligasi untuk menstabilkan rupiah. Meskipun demikian, rupiah tetap menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia pada tahun 2025, dan indeks saham Indonesia mengalami penurunan sebesar 14% dalam nilai dolar AS.
Meskipun situasi ini mengingatkan pada krisis 1998, BI menegaskan bahwa fundamental ekonomi Indonesia saat ini lebih kuat dibandingkan periode tersebut, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 5%, inflasi rendah, dan utang luar negeri yang terkendali.
2. Ketegangan politik dan polarisasi sosial
Meskipun narasi Non block digaungkan pada awal masa pemerintahan rezim Prabowo, tentu bergabungnya Indonesia di BRICS mengkonfirmasi pergeseran geopolitik internasional Indonesia yang menimbulkan hubungan bilateral Indonesia dengan AS menjadi kurang stabil, hadirnya George Soroz di Indonesia seakan mengindikasikan lampu kuning atas kehancuran Indonesia.
Pasalnya, Soroz punya portofolio yang cukup panjang ketika menghancurkan perekonomian suatu negara, krisis 1998 Indonesia, krisis thailand, Malaysia bahkan sekaliber negara Inggris luluh lantah di tangan orang ini.
Tandanya cukup banyak, dia piawai memainkan nilai harga saham, terbukti baik BCA, BRI, BNI, MANDIRI dan saham perbankan lainnya hancur lebur dalam 6 bulan terakhir. Berikut adalah data terkini pergerakan saham perbankan besar di Indonesia:
- Bank Central Asia (BBCA): Turun dari Rp 9.200 per lembar pada akhir 2023 menjadi Rp 8.100 per lembar pada Maret 2024, mengalami depresiasi sekitar 12%.
- Bank Rakyat Indonesia (BBRI): Dari Rp 5.700 per lembar pada Desember 2023 menjadi Rp 4.900 pada Maret 2024, turun sekitar 14%.
- Bank Negara Indonesia (BBNI): Mengalami penurunan dari Rp 10.500 menjadi Rp 9.000 dalam periode yang sama, atau sekitar 14%.
- Bank Mandiri (BMRI): Dari Rp 7.800 per lembar pada akhir tahun lalu, kini berada di kisaran Rp 6.750, turun sekitar 13%.
Dari data di atas, terlihat bahwa perbankan nasional sedang menghadapi tekanan besar yang bisa menjadi indikasi adanya penurunan kepercayaan investor. Selain itu, depresiasi nilai tukar rupiah yang menyentuh Rp. 16.600 per dolar AS (per Maret 2025) juga mengindikasikan ketidakstabilan ekonomi yang semakin mengkhawatirkan.
Di tengah gejolak ekonomi ini, kebijakan revisi UU TNI semakin memperburuk sentimen publik. Beberapa poin dalam revisi ini yang menjadi kontroversi meliputi:
- Pemberian peran aktif kepada TNI dalam urusan sipil, termasuk dalam pemerintahan daerah dan pengelolaan keamanan dalam negeri.
- Memperpanjang usia pensiun perwira tinggi, yang dinilai sebagai strategi untuk mempertahankan dominasi militer dalam politik.
- Peningkatan anggaran pertahanan hingga Rp 350 triliun pada 2024, yang dianggap kurang relevan di tengah kondisi ekonomi yang memburuk.
Di tengah wacana rekonsiliasi politik yang didengungkan pemerintah, realitas di lapangan menunjukkan semakin menguatnya potensi otoritarianisme gaya baru.
Banyak pihak menilai bahwa langkah-langkah ini adalah strategi untuk mengkonsolidasikan kekuasaan di bawah kepemimpinan baru, dengan mengorbankan prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade.







