Sastrawan Fikar W. Eda memandang Kelising sebagai refleksi sosial dan politik yang menempatkan seni dalam dimensi kemanusiaan. “Karya ini mengingatkan kita bahwa seni tidak semata hiburan, tapi juga cermin nurani,” ucapnya.
Senada dengan itu, seniman teater Jose Rizal Manua menekankan bahwa Kelising membuktikan seni mampu menjaga ingatan sejarah. “Naskah-naskah ini merekam luka dan mengajak publik merenung. Generasi muda perlu memahami bahwa seni sering lahir dari penderitaan dan perjuangan,” katanya.
Antusiasme
Sejumlah tokoh budaya turut hadir, di antaranya tokoh muda Gayo Irmansyah, sutradara dokumenter Radio Rimba Raya Ikmal Gopi, penulis dan pegiat literasi Zuhri Gayo, serta mantan Ketua Musara Gayo, Akhyar Gayo. Kehadiran mereka memperkaya dialog tentang hubungan sastra dengan sejarah dan identitas Gayo.
Diskusi berlangsung dinamis dengan antusiasme tinggi dari peserta yang berasal dari kalangan akademisi hingga komunitas seni. Dialog interaktif tersebut menegaskan bahwa sastra tidak hanya hadir sebagai estetika, tetapi juga sebagai ruang refleksi atas sejarah, budaya, dan nilai kemanusiaan.
BACA JUGA: Membedah Buku Educated Karya Tara Westover Melalui Konten Booklist Maudy Ayunda
Lewat Kelising, Dr. Salman Yoga bersama para narasumber dan peserta bedah buku membuka ruang apresiasi baru terhadap seni dan sastra. Buku ini menjadi pengingat bahwa karya sastra adalah bagian penting dari perjalanan panjang ingatan kolektif bangsa, sekaligus jendela untuk memahami kemanusiaan melalui seni.