Tantangan Lelang
Lebih lanjut, Fabby menyoroti hambatan dalam proses transisi energi di Indonesia. Ia menyebut bahwa ketidakmampuan PLN untuk melakukan lelang pembangkit energi terbarukan dalam skala besar serta lambannya negosiasi power purchase agreement (PPA) menjadi ancaman besar. Akibatnya, realisasi proyek energi terbarukan masih rendah dan berpotensi memicu krisis listrik dalam beberapa tahun ke depan.
Oleh karena itu, IESR mendorong pemerintah untuk terus mengawasi pelaksanaan RUPTL dan mendukung PLN agar target pembangunan pembangkit energi terbarukan bisa tercapai. Dukungan tersebut, kata Fabby, dapat berupa penyesuaian kebijakan, regulasi yang mendorong percepatan, skema tarif yang layak, serta penguatan mekanisme lelang yang lebih terjadwal dan transparan.
Sementara itu, Fabby juga menilai bahwa kemampuan PLN dalam mengeksekusi RUPTL masih lemah. Ia mencontohkan, hingga semester pertama 2025, realisasi pembangkit yang telah beroperasi secara komersial (COD) baru mencapai 1,6 GW dari rencana 10 GW yang tercantum dalam RUPTL 2021–2030.
Di sisi lain, Fabby mengkritik masih adanya 2,8 GW pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang direncanakan tetap beroperasi setelah tahun 2030. Menurutnya, hal ini bertentangan dengan target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih awal.
“IESR mengkritik masih adanya 2,8 GW PLTU yang beroperasi setelah 2030 yang tidak sejalan dengan target NZE di 2060 atau lebih awal. Kalau konsisten dengan Perpres 112/2022, seluruh PLTU seharusnya berakhir di 2050,” pungkasnya.

 
																						






