Menolak Lupa! Tragedi Kanjuruhan di Hari Kesaktian Pancasila

RUANGBICARA.co.id – Setiap tanggal 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Penetapan hari nasional ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 153 Tahun 1967 sebagai bentuk penghormatan terhadap peristiwa bersejarah G30S. Hari ini menjadi simbol bahwa Pancasila adalah dasar negara yang tetap tegak meski bangsa pernah dilanda gejolak.

Namun, 1 Oktober juga meninggalkan jejak luka mendalam. Pada tahun 2022, tepat di hari bangsa memperingati kokohnya Pancasila, Indonesia justru menyaksikan salah satu tragedi sepak bola paling kelam di dunia, yakni Tragedi Kanjuruhan.

BACA JUGA: Kesal Tak Dihargai di Rumah Sendiri, Arema Bakal Tinggalkan Kanjuruhan

Pada Sabtu malam, 1 Oktober 2022, Stadion Kanjuruhan, Malang, menjadi saksi bisu betapa rapuhnya sistem pengamanan sepak bola Indonesia. Seusai laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya, ribuan suporter memenuhi lapangan. Situasi yang semula penuh semangat berubah menjadi kepanikan besar ketika aparat menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton.

Akibatnya, ribuan orang berlarian menuju pintu keluar. Sayangnya, sebagian besar pintu tertutup, sehingga terjadi penumpukan yang berakhir tragis. Ratusan nyawa melayang, termasuk anak-anak dan perempuan, sementara ratusan lainnya terluka.

Tragedi Kemanusiaan

Hingga 24 Oktober 2022, tercatat 135 orang meninggal dunia dan lebih dari 583 orang mengalami luka-luka. Angka tersebut menjadikan Tragedi Kanjuruhan sebagai tragedi sepak bola paling mematikan di Asia, bahkan menempati urutan kedua di dunia setelah peristiwa Estadio Nacional di Peru tahun 1964.

Lebih memilukan lagi, banyak korban adalah remaja. Dari 135 jiwa yang hilang, setidaknya 38 di antaranya masih di bawah usia 17 tahun. Fakta ini menorehkan luka yang sulit terhapus dalam sejarah olahraga Indonesia.

Sebagai respons, pemerintah membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang menyimpulkan bahwa penggunaan gas air mata di dalam stadion adalah faktor utama terjadinya tragedi. FIFA pun menegaskan bahwa gas air mata tidak seharusnya dipakai dalam pertandingan sepak bola.

Sejumlah pejabat kepolisian dan pihak penyelenggara pertandingan ditetapkan sebagai tersangka. Namun, hingga kini, publik masih menuntut keadilan penuh bagi para korban. Spanduk, mural, hingga doa bersama terus digelar di berbagai kota dengan pesan yang sama: “Justice for Kanjuruhan.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *