Maka saya tegaskan kembali bahwa fakta-fakta keputusan NU tersebut tidak hanya ditujukan untuk kemaslahatan beragama, tetapi juga untuk menjaga kelestarian kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, merawat NU sama artinya dengan merawat Indonesia, sementara merusak NU merupakan muqoddimah atau awal dari upaya merusak Indonesia.
Ishlah NU untuk Indonesia
Problem Indonesia hari ini sangat besar. Situasi tersebut tentu akan semakin membesar dan carut-marut jika Nahdlatul Ulama (NU) justru ikut berkecamuk dalam pusaran persoalan internal. Karena itu, jalan yang banyak disarankan berbagai pihak dalam menyelesaikan gegeran di tubuh PBNU akhir-akhir ini—terutama oleh para masyayikh dan Nahdhiyyin—adalah melalui ishlah.
Ishlah, serta kepatuhan terhadap wejangan kiyai-kiyai sepuh, sejatinya merupakan warisan luhur yang diturunkan dari generasi ke generasi di lingkungan NU. Tradisi inilah yang selama ini menjadi ciri khas NU, sekaligus penopang utama keberlangsungannya sebagai organisasi keagamaan dan sosial.
Sejarah NU memberikan banyak teladan mengenai hal tersebut. Kita dapat melihat bagaimana Gus Dur pada masanya kerap menyampaikan bahwa apa pun yang diperintahkan oleh kiyai khos (kiyai-kiyai sepuh), beliau akan manut. Termasuk saat diminta maju sebagai calon presiden. Padahal, kecerdasan dan keluasan cara berpikir Gus Dur tidak pernah diragukan. Namun demikian, beliau tetap memilih nurut dan patuh kepada kiyai sepuh.
Sikap manut dan nurut kepada kiyai sepuh ini bukan sekadar perwujudan akhlak beragama, tetapi juga mencerminkan tata krama dalam berbangsa dan berbudaya. Dalam falsafah Jawa, nilai tersebut sering dirumuskan dalam ungkapan “mikul dhuwur mendem jero.”
Oleh karena itu, jika elit-elit NU—dalam hal ini kubu yang kerap disebut “sultan”—tidak mengindahkan himbauan kiyai-kiyai sepuh dan mayoritas Nahdhiyyin untuk berishlah, maka secara tidak langsung mereka sedang memberi contoh yang keliru. Sikap tersebut seolah mengajarkan Nahdhiyyin di akar rumput untuk meninggalkan akhlak dan tata krama beragama, berbangsa, dan bernegara. Kondisi ini jelas berbahaya, bahkan berpotensi mengancam kedaulatan Republik Indonesia.
Dalam konteks pengamalan ajaran Islam, meninggalkan adab bukan persoalan ringan. Sikap tersebut dapat menjerumuskan seorang Muslim pada penyimpangan yang serius. Syaikh Nawawi al-Bantani, misalnya, pada bagian akhir tafsir Surah Ali Imran ayat 112, memberikan catatan penting terkait hal ini, sebagai berikut:
قال ارباب المعاملات مع الله من ابتلي بترك الاداب وقع في ترك السنن ومن ابتلي بترك السنن وقع في ترك الفريضة ومن ابتلي بترك الفريضة وقع في استحقار الشريعة ومن ابتلي بذالك وقع في الكفر
Para kekasih Allah (arbabbul mu‘amalat ma‘a Allah) bertutur; barang siapa terbujuk dengan tidak beradab dan tidak berakhlakul karimah, maka dia akan terjerumus ke dalam barisan orang-orang yang suka meninggalkan kesunahan-kesunahan Rasulullah Saw. Dan barang siapa meninggalkan kesunahan-kesunahan, maka dia akan tergiring untuk meninggalkan kewajiban-kewajiban. Dan barang siapa terbiasa meninggalkan kewajiban-kewajiban, maka dia akan meremehkan syariat. Dan barang siapa terbiasa melakukan itu semua, maka dengan mudah dia akan memasuki kekufuran.
Dari pemaparan Syaikh Nawawi tersebut, bisa disimpulkan bahwa memilih sikap tidak beradab atau tidak berakhlak terhadap kesepuhan adalah sama saja dengan memilih berdiri di tepi jurang.
Tegas terhadap Kelompok Anti-Ishlah
Jika cara damai (ishlah) yang ditawarkan ulama-ulama sepuh dan mayoritas Nahdhiyyin tidak dituruti—di mana ishlah itu sendiri merupakan perwujudan dari akhlakul karimah sekaligus menjaga adab terhadap ulama sepuh—maka Nahdhiyyin kultural yang dikomandoi oleh masyayikh sepuh bisa mengambil kepengurusan NU secara paksa (qohriyyah). Cara itu legal dan syar’i demi kemaslahatan NU dan Indonesia.
Al-Imam Ibnu Jamaah (wafat 733 H) dalam kitab Tahrirul Ahkam fi Tadbiri Ahlil Islam menerangkan bahwa imamah (kepemimpinan) dapat terwujud dan memiliki kekuatan hukum syar’i melalui tiga cara. Pertama, ikhtiyariyah, yakni melalui baiat ahlil aqdi wal hilli. Kedua, istikhlaf il imam alladzi qoblahu, yaitu pemberian kekuasaan kepada seorang imam oleh imam sebelumnya, sebagaimana penunjukan Sayidina Abi Bakr terhadap Sayidina Umar bin Khattab. Ketiga, qohriyyah (paksaan), yakni pengambilan kekuasaan dengan menggunakan kekuatan politik yang besar demi menjaga kemaslahatan orang banyak.
Untuk itu, Abdullah bin Umar memiliki jargon:
نحن مع من غلب
Kami bersama yang menang.
Cara ketiga ini merupakan opsi lanjutan, sekaligus opsi ketiga dan keempat, dari hasil Musyawarah Kubro para masyayikh dan Nahdhiyyin yang digelar di Pesantren Lirboyo pada 21 Desember 2025. Dalam musyawarah tersebut disepakati beberapa langkah strategis sebagai berikut:
Apabila ishlah tidak dapat dilaksanakan, Musyawarah Kubro meminta agar kewenangan diserahkan kepada Mustasyar PBNU untuk menyelenggarakan Muktamar NU tahun 2026, paling lambat 1 x 24 jam setelah batas waktu ishlah berakhir. Selanjutnya, apabila kewenangan tersebut tidak diserahkan, Musyawarah Kubro bersepakat untuk menyelenggarakan Muktamar Luar Biasa (MLB) dengan dukungan 50% + 1 PWNU dan PCNU, yang dilaksanakan selambat-lambatnya sebelum keberangkatan kloter pertama jamaah haji tahun 2026.
Oleh karena itu, saya berharap kepada para masyayikh, para kesepuhan, dan seluruh warga Nahdlatul Ulama untuk bersikap tegas serta tidak ragu mengambil langkah kepemimpinan secara qohriyyah demi menjaga kelestarian Nahdlatul Ulama dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BACA JUGA: Izin Terbit, PBNU Siap Kelola 26.000 Hektar Tambang
Tentang Penulis
Penulis adalah Sholehudin Muhtadi, Pembina Pesantren Mahasiswa Darul Asror Kota Serang. Selain aktif dalam dunia pendidikan pesantren, penulis juga memiliki pengalaman di bidang jurnalistik dan kemasyarakatan. Ia pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Damaskus, Suriah (2006–2007), menjadi Mitra Ikatan Pembimbing Kemasyarakatan Indonesia (IPKEMINDO) pada periode 2019–2022, serta hingga kini menjabat sebagai Pembina Pesantren Mahasiswa Darul Asror El-Babakani Longsir (2015–sekarang).
Dalam aktivitas keilmuannya, penulis merupakan pengajar kajian Tafsir Al-Qur’an di Masjid Nurul Huda Cipocok sejak 2014 hingga sekarang, serta pengajar kajian Hadits di Masjid Lopang Cilik, Serang, sejak 2021. Di samping itu, penulis juga aktif menulis di berbagai media online, khususnya mengenai isu-isu keagamaan dan kebangsaan.
Adapun latar belakang pendidikan, penulis pernah mengenyam pendidikan nonformal di Pondok Pesantren Wonokromo Bantul, Yogyakarta (1997), Pondok Pesantren Al-Qur’an Cukir Jombang (1998), dan Pondok Pesantren An-Nur Lasem, Rembang, Jawa Tengah (2000). Sementara pendidikan formal ditempuh di SDN Babakan Ciwaringin Cirebon, MTsN Babakan Ciwaringin Cirebon, MA Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, serta Ma’had Lughoh Arabiyah Damaskus, Suriah (2004).












