PPP dan Egoisme Politik Kadernya

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sedang tersengal-sengal. Partai yang dulu tampil di pentas politik bak pemain gambus di hajatan desa, kini malah seperti penabuh rebana yang kehilangan irama. Suara yang dikumpulkan pada Pemilu 2024 hanya 3,87 persen—sekadar kurang 0,13 persen dari ambang batas parlemen. Ibarat orang yang berlari marathon, sudah ngos-ngosan di garis finis, lalu jatuh sebelum menyentuh pita.

Siapa yang salah? Pertanyaan ini lebih susah dijawab daripada soal ujian anak SMA yang kebanyakan pilihan ganda. Tapi mari kita bedah.

BACA JUGA: Siapa Lebih Tajir Caketum PPP? Agus Suparmanto atau Mardiono, Ini Faktanya

Pertama, ada Taj Yasin Maimoen. Sosok muda yang, kalau saja ia ikut bertarung di DPR RI, mungkin bisa mendongkrak suara partai. Sayangnya, beliau memilih jalan sunyi sebagai calon DPD RI. Pilihan ini sah-sah saja, toh dia sukses besar: hampir 4 juta suara! Tapi bagi PPP, keputusannya itu serupa pemain bola yang lebih memilih menonton pertandingan dari tribun padahal timnya kekurangan striker.

Lalu ada Subadri Ushuluddin, Ketua DPW PPP Banten. Namanya besar, modal ada, jabatan mantan Wakil Wali Kota Serang pun jelas. Tapi hasilnya? Hanya mampu mempertahankan secuil suara, bahkan kursi di DPRD Provinsi turun dari 5 menjadi 4. Padahal kursi provinsi ditambah jadi 100.

Belum lagi kisah Uu Ruzhanul Ulum, mantan Wakil Gubernur Jawa Barat. Katanya dapilnya berat. Katanya kultur politik di Pantura beda dengan Priangan Timur. Katanya sudah berusaha maksimal. Tapi ujung-ujungnya cuma 4.223 suara. Angka ini bahkan lebih kecil dari jumlah undangan kondangan di satu kampung kalau ada pesta kawinan akbar. Apa daya, mantan wagub pun ternyata tak cukup ampuh mendongkrak partai.

Nah, selain itu, ada pula nama-nama besar lain yang memilih tidak turun gelanggang. Wakil Menteri Agama Saiful Rahmat Dasuki, misalnya. Kalau beliau nyaleg, mungkin suara PPP bisa naik. Tapi beliau memilih jalur birokrasi. Akhirnya, PPP seperti kapal tua yang ditinggalkan awaknya di tengah gelombang besar.

Dan jangan lupa ada bayang-bayang Romahurmuziy alias Rommy, mantan ketua umum yang tersandung kasus korupsi. Luka lama yang belum sembuh itu masih meninggalkan bekas di wajah PPP. Wasekjen PPP, Rapih Herdiansyah, terang-terangan bilang Rommy seharusnya bertobat.

“Justru yang harus melakukan taubatan nasuhah adalah dia yang menggoreskan citra buruk bagi PPP. Bagaimana seorang ketua umum bermasalah dengan kasus korupsi ditangkap KPK beberapa hari menjelang pemilu,” ujar Rapih seperti dikutip Kompas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *