Sebuah Kesaksian: Atmakusumah Astraatmadja, Sang Maestro Kemerdekaan Pers Asal Banten

RUANGBICARA.co.id – Nama Atmakusumah Astraatmadja sebetulnya tampak asing bagi sebagian orang Banten, termasuk saya. Tapi, akhirnya saya tahu. Namanya ternyata besar di luar daerah kelahirannya sendiri, bahkan terdengar hingga mancanegara, apalagi dunia pers.

Ternyata, ia bukan sekadar tokoh, melainkan sebagai sosok panutan. bukan juga saksi zaman, melainkan pelaku sejarah yang ikut membentuk jalan panjang menuju kebebasan pers yang kini dinikmati banyak insan pers.

Pria kelahiran Labuan, Pandeglang, Banten, 20 Oktober 1938 itu, telah menjadi jiwa dari perjuangan panjang melawan pembredelan, tekanan politik, dan ketakutan yang membungkam pena para wartawan.

BACA JUGA: Kebebasan Pers di Indonesia 2024: Keluar dari Mulut Harimau, Masuk ke Mulut Buaya

Di usianya yang baru 19 tahun, Atmakusumah muda mulai menapaki kariernya di dunia jurnalistik tepatnya pada tahun 1957. Ia bergabung dengan Indonesia Raya Minggu yang dipimpin Mochtar Lubis. Tak butuh waktu lama, keberanian Atmakusumah pun segera diuji.

Ia pernah menulis tentang lima jurnalis penerima Ramon Magsaysay Award, termasuk Mochtar sendiri, yang sedang ditahan oleh pemerintah. Tulisan itu membuat Indonesia Raya didatangi Polisi Militer, hingga akhirnya dibredel empat bulan kemudian.

Namun, seperti ditulis Wartawan senior dan eks Pemimpin Redaksi Tempo, Bambang Harymurti atau BHM dalam buku Atmakusumah Merawat Kemerdekaan Pers (LPDS, 2025, Hal 11-15). “Pembredelan ini tak mampu menamatkan karier Pak Atma sebagai wartawan. Justru hal itu membuatnya makin giat mempelajari ilmu jurnalistik sambil bekerja sebagai penyiar di Radio Republik Indonesia dan dipraktikan saat bekerja di Duta Masyarakat Minggu,” tulisnya, dikutip Rabu (23/7/2025).

Dalam kiprahnya, ia kembali bikin gusar rezim orba saat itu. “Artikel tentang film yang ditulisnya membuat pemimpin redaksi Duta Masyarakat Minggu (Koran milik Nahdlatul Ulama), Mahbub Djunaidi, mendapat ancaman pembredelan,” kata Bambang, menggugah pembaca buku ini begitu penasaran.

Hal inilah yang kemudian mencermikan keberanian dan keteguhan sikap, menjadi bahan bakar bagi Atmakusumah untuk terus menekuni dunia jurnalistik, meski rintangan datang silih berganti.

Melanglang Buana

Tak hanya bertahan, Atmakusumah juga tumbuh. Perjalanannya, membuat ia harus merantau ke luar negeri, untuk bekerja di Radio Australia dan Deutsche Welle di Jerman. Di sana, ia melihat langsung bagaimana pers bebas bekerja—sebuah pengalaman yang memperkuat keyakinannya bahwa kebebasan pers adalah pilar demokrasi.

“Prinsip ini, sepertinya, sudah merasuk dalam benak Pak Atma semenjak ia masih belia,” tulis BHM menceritakan dalam tulisannya.

Sepulangnya ke Indonesia, ia kembali memperkuat Indonesia Raya pada 1968. Tapi sejarah kembali berulang. Media itu kembali dibredel pada 1974 karena pemberitaannya soal peristiwa Malari dianggap sebagai pemicu meletusnya peristiwa tersebut. Kali ini, Atmakusumah tidak hanya kehilangan pekerjaan, tetapi masuk daftar hitam rezim Orde Baru hingga dilarang menjadi wartawan.

“Untuk kedua kalinya, harian Indonesia Raya dibredel… dan Pak Atma masuk sebelas nama dalam catatan hitam pemerintah,” ungkap BHM.

Pantang Menyerah

Meski hidup dalam tekanan, semangat Atmakusumah tidak menyerah begitu saja. Ia sempat menjadi petani, namun akhirnya kembali ke dunia yang paling dicintainya, yaitu pers. Melalui Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), ia mencurahkan tenaga untuk mendidik generasi baru wartawan.

Sejak 1994 ia menjabat sebagai Direktur Eksekutif LPDS dan menjadi salah satu arsitek utama Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999—salah satu tonggak penting dalam sejarah pers Indonesia pasca-Reformasi.

“Mahakarya Pak Atma ini… boleh dikatakan menjadi landasan utama pengubah paradigma masyarakat Indonesia tentang pentingnya pers yang merdeka,” tulis BHM. Undang-undang ini membebaskan pers dari cengkeraman kekuasaan, menjadikannya sebagai watchdog publik yang mandiri.

Pengabdiannya terus berlanjut saat ia diangkat sebagai Ketua Dewan Pers independen pertama pada periode 2000–2003. Dalam posisi itu, Atmakusumah tak hanya menjadi simbol, tetapi juga penggerak utama penyusunan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Ia berada di garda terdepan membela jurnalis yang dikriminalisasi dan membangun kultur pers yang etis dan bertanggung jawab.

“Pak Atma, dalam analogi ini, adalah seorang konduktor bertaraf maestro yang membuat kita semua bekerja sama menjaga kemerdekaan pers di Indonesia,” tulis BHM.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed