Siapa Perusak Agama?

Oleh: Sholehudin Muhtadi Syarif

Menurut Imam al-Ghazali (wafat 505 H) dalam kitab al-Munqidz min ad-Dhalal menegaskan bahwa salah satu penyebab kehancuran umat Islam adalah rusaknya moral para juru dakwah atau ulama.

Selanjutnya, cendekiawan asal India, Abu Hasan an-Nadwi (wafat 1999 M), dalam karya Ma Dza Khasira al-‘Alam bi Inkhithat al-Muslimin, juga menyampaikan hal senada. Menurutnya, lemahnya umat Islam tak lepas dari perilaku buruk kaum agamawan.

Sayangnya, mereka gagal menunjukkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial, berbangsa, dan bernegara. Akibatnya, banyak kalangan non-Muslim tidak lagi simpati atau percaya terhadap keagungan ajaran Islam.

BACA JUGA: KH Said Aqil Siroj: Habaib Tidak Punya Otoritas Ilmu Agama

Tak hanya itu, Maryam Jameelah (wafat 2012 M), seorang mualaf yang dulunya penulis Yahudi ortodoks dan murid Abul A’la al-Maududi, mencatat bahwa gaya hidup mewah para elite Muslim menjadi penyebab utama kehancuran kekhalifahan Turki.

Bahkan menurut An-Nadwi, sejarawan Eropa menyimpulkan bahwa kemunduran Islam berkaitan erat dengan kemunduran moral para agamawannya. Ironisnya, mereka justru mencerminkan “agama baru” yang jauh dari nilai luhur Islam.

Fenomena Kontemporer

Di masa kini, kita kerap menyaksikan banyak juru dakwah hidup bermewah-mewah dan tak mencerminkan akhlak Rasulullah SAW. Bahkan, sebagian dari mereka memprovokasi umat untuk melawan pemerintah, mencaci maki, hingga menyebarkan kebencian.

Lebih parah lagi, ada yang mengaku keturunan Nabi SAW namun berdakwah sambil membawa senjata tajam, menantang perang, dan mengajak kekerasan terhadap sesama muslim hanya karena perbedaan pandangan sepele.

Oleh karena itu, sudah saatnya umat menjadi cerdas dan bijak dalam memilih juru dakwah. Jangan hanya karena seseorang dianggap keturunan Nabi, lalu segala ucapannya dituruti tanpa kritis, hingga terjerumus dalam tindakan anarkis dan dosa besar.

Sejarah mencatat, menurut Adz-Dzahabi dan Ibnu Katsir, bahwa Ali bin Muhammad bin al-Alawi mengaku sebagai dzurriyyah Nabi dengan nasab palsu. Tujuannya adalah mengumpulkan massa dan melawan pemerintahan yang sah.

Fakta lainnya, orang-orang miskin dan bodoh menjadi kelompok yang paling mudah terhasut oleh ajakannya.

Tak berhenti di situ, Ibnu Katsir menuturkan bahwa kelompok ini kerap menyebarkan cerita bohong tentang karomah dan kekuatan supranatural pemimpinnya demi menarik simpati umat.

Tragisnya, pola seperti ini kini kembali muncul di tengah masyarakat kita di Indonesia. Padahal, bagi orang yang berilmu dan paham sejarah, tentu tidak mudah percaya pada klaim dzurriyah Nabi tanpa bukti.

Dzurriyah Palsu

Jadi pola-pola seperti ini lah agaknya yang sedang terjadi di kalangan sebagian kaum muslimin di negara kita Indonesia. Dan tentu saja bagi orang- orang yang bergulat di bidang ilmu pengetahuan dan sejarah tidak akan mudah percaya terhadap orang-orang yang mengaku sebagai dzurriyah nabi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *