Upaya tersebut terus diperjuangkan sampai pada Februari 2023, Pj Gubernur Aceh, Achmad Marzuki kembali menyurati Kemendagri, agar merevisi keputusan tersebut juga meminta Kemendagri untuk mengeluarkan empat pulau itu dari Sumut dan masukan ke Aceh.
“Pemerintah Aceh secara birokrasi telah berusaha sangat-sangat maksimal dan kita tidak pernah diam. Kita menyurati, meminta Kemendagri untuk merevisi Kepmendagri,”
Oleh sebab itu, pemerintah Aceh bakal memberikan kebutuhan mengenai data kepada para mahasiswa terkait kepemilikan empat pulau tersebut. Sehingga dapat dipelajari dan mengambil langkah bagaimana memperjuangkannya.
Sementara itu, Junaidi mewakili Pemkab Aceh Singkil mengaku, nelayan tidak bisa melakukan penangkapan ikan karena disebabkan polemik mengenai sengketa empat pulau ini.
“Empat pulau ini harus dapat segera diselesaikan. Karena ini sangat berdampak terhadap para nelayan kita,” kata Asisten I Pemkab Aceh Singkil itu.
Junaidi menjelaskan dalam aspek hukum polemik perbatasan sebelumnya telah diselesaikan oleh Pemerintah Aceh dan Sumut pada tahun 1992. Kedua provinsi sepakat atas batas mengenai masalah empat pulau yang kini menjadi sengketa.
“Dalam peta perbatasan antara kedua provinsi tahun 1992, terlihat bahwa Pulau Mangkir besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang masuk dalam wilayah Aceh yang kala itu masih bernama Daerah Istimewa Aceh (DIA),” tuturnya
Kemudian, kesepakatan bersama Tim Penegasan Batas Daerah (PBD) Aceh dan Sumut kembali terjadi pada 31 Oktober 2002. Dalam rapat di Jakarta, disepakati dan dipasang enam pilar batas serta satu pilar titik acuan di Pulau Panjang antara Kabupaten Singkil Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Dairi, Sumut.
Menurutnya lebih lanjut, data hasil pengukuran dan pemasangan pilar oleh Pemkab Aceh Singkil bekerja sama dengan Topografi Iskandar Muda dan Bakosurtanal, pada 19 September 2002, bahwa telah dipasang PBU 007 di Pulau Panjang dengan koordinat 2° 05’ 53.50″ LU, 98° 10’ 46.92″ BT.
Tidak hanya itu, bahkan hingga saat ini, kebiasaan serta budaya masyarakat Kabupaten Aceh Singkil diketahui warga dari Kabupaten Tapanuli Tengah. Salah satunya mengenai larangan melaut di Hari Jumat.
“Keadaan ini dituruti pula diketahui oleh nelayan asal Tapanuli Utara, Sumatra Utara. Mereka tidak pergi melaut ke empat pulau tersebut pada Jum’at,” ujarnya.
Junaidi juga dengan tegas mengatakan keempat pulau itu bagian dari wilayah Aceh, bahkan sejumlah infrastruktur dibangun di pulau-pulau tersebut. Mulai dari tugu selamat datang, pelabuhan, hingga prasasti yang menandakan kawasan itu masuk dalam wilayah Aceh.
Akademisi Hukum Tata Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan UIN Ar-Raniry Delfi Suganda SHi LL M. pada kesempatan ini memberikan konsep penyelesaian dengan menawarkan social legal.
“Sehingga dapat menyerap semua aspirasi. Baik politik, hukum, dan budaya serta kondisi lapangan di sana,” kata Delfi.
Lanjut Delfi, ia mengatakan empat pulau yang kini masuk dalam administrasi Pemerintah Sumut memiliki banyak potensi terutama sumber daya alamnya. Sehingga berpotensi menghidupkan wisatanya.
Meski demikian, polemik yang terjadi antara kedua provinsi bertetangga tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja dan harus diselesaikan sampai tuntas. Sebab, dampak lain akan berpengaruh terhadap anggaran masing-masing daerah.
Ia berharap, hasil diskusi dari seminar dapat memberikan dampak dengan mendorong Pemerintah Aceh untuk lebih serius memperjuangkan haknya. Terutama empat pulau yang diklaim Pemerintah Sumut.
Jika sebelumnya telah dilakukan langkah dengan menyurati Kemendagri serta dimediasi oleh Menkopolhukam, saat ini harus dilakukan riset oleh para akademisi agar tidak hanya terpaku pada aspek regulasi.
“Paling tidak pihak akademisi riset awal tidak hanya budaya, tetapi harus disertai bukti autentik yang bisa mendukung kekuatan fakta dan data Pemerintah Aceh,” tutupnya.
Diketahui peserta Seminar Nasional tersebut dihadiri oleh mahasiswa UIN Ar-Raniry, juga mahasiswa dari berbagai kampus lainnya di Kota Banda Aceh.






