Pertanyaan kita kembali: siapa yang bertanggung jawab? Apakah ketua umum? Apakah para caleg yang setengah hati? Atau semua kader yang lebih sibuk membesarkan dirinya daripada partai?
Sebenarnya, kalau bicara tanggung jawab, jawabannya sederhana: ya semua. Tak bisa satu orang saja dijadikan kambing hitam. Taj Yasin memilih jalannya, Uu gagal mendulang suara, Subadri kurang greget, elite lain enggan bertarung. Semua berkontribusi terhadap angka 3,87 persen itu.
Sekarang, menjelang Muktamar X PPP di Ancol, muncullah nama-nama calon ketua umum. Ada yang dari internal, ada pula yang dilirik dari eksternal. Pengamat politik menyarankan: lebih baik dari internal. Figur seperti Muhamad Mardiono disebut masih menonjol. Tapi, sejujurnya, sebaik apa pun ketum baru nanti, tanpa semangat kolektif, PPP tetap saja akan jalan di tempat.
“Kalau mau jujur sebenarnya per hari ini kalau ngomong figur internal politik Mardiono ini salah satu yang menonjol dan mungkin rekam jejaknya bisa dicek sejak jadi Plt. Artinya kalau bicara tentang yang menjadi ketua umum itu harus internal PPP, saya melihatnya salah satu yang relatif kuat dan diperhitungkan memang Pak Mardiono,” tutur Pengamat Politik dari Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno.
Kegagalan PPP kali ini seharusnya jadi cermin. Bahwa politik itu bukan hanya soal ambisi pribadi, bukan pula sekadar nostalgia kejayaan masa lalu. Politik adalah kerja kolektif, peluh bersama, dan kadang—kalau perlu—sedia berkorban untuk partai.
Jadi, siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kegagalan PPP? Semua. Dari ketua umum sampai caleg yang cuma dapat suara sekelas RT. Dari kader yang memilih jalur aman sampai yang sudah lama lupa cara turun ke kampung-kampung.
BACA JUGA: Rommy Cs Disebut sebagai Dalang Turbulensi Besar PPP
Dan kalau mau jujur, tanggung jawab itu juga bukan sekadar untuk menjawab kegagalan hari ini. Tapi untuk menjawab apakah PPP masih pantas dipanggil “partai Islam” yang bersatu, atau tinggal jadi “partai papan nama” yang hanya ramai saat muktamar, lalu sepi di bilik suara.