Apakah Benar Kiyai Imaduddin Ustman telah Mendustakan atau Menghina Ulama Masa Lalu?

Para pembela Habaib

Sejauh pengamatan saya di media sosial, para pembela klan Baalwi ini belum bisa menghadirkan data, apakah itu manuskrip tua, atau kitab sezaman yang dituntut publik hari ini untuk membuktikan kalau nasab Baalwi itu tersambung sampai kepada Baginda Rasulullah Saw.

Yang dibangun para pembela Baalwi ini hanya sebatas asumsi dan narasi kebencian kepada para kritikus nasab Baalwi. Sementara Kiyai Imaduddin sudah menghadirkan data keterputusan nasab mereka tanpa cacian dan serapah.

Ada juga di antara para pembela Baalwi yang berusaha menekan publik kaum sarungan dengan argumentasi bahwa para kiayi nusantara dahulu guru-gurunya adalah ada yang dari habaib. Bahkan Syaikh Nawawi, Kiyai Hasyim As’ari dan ulama ulama sezaman dengan mereka yang nasab keilmuanya tersambung kepada ulama-ulama Baalwi. Sehingga diasumsikan bahwa mereka kiyai terdahulu mengakui Baalwi sebagai Dzurryyyah Rasulullah Saw.

Pandangan tersebut berkali-kali sudah dimentahkan Sang Pembebas Perbudakan Spiritual Kiyai Imaduddin Ustman. Beliau mengatakan tidak ada bukti kalau mereka kiyai nusantara yang disebut di atas pernah meng-isbat nasab Baalwi. Yang dijelaskan Syaikh Nawawi dan Ulama ulama terdahulu itu hanya sekedar keterangan makna lafadz “Habib.” Bukan pengukuhan habib sebagai keluarga besar Rasulullah Saw.

Menurut Alfaqir, bagi santri-santri yang terbiasa bergulat dengan kitab kuning pasti memahami konsep “Istidrokaat.”  ( الإستدراكات ). Yaitu temuan-temuan kesimpulan yang terbarukan dengan dalil yang lebih kuat dan akurat dan mengganti kesimpulan masa lalu karena diasumsikan kurang kuatnya dalil.

Seperti yang dilakukan Imam Nawawi ad-Dimasyqi terhadap pendahulunya, al-Imam Rofi’i. Dalam tradisi intelektual, istidrokat itu hal yang lumrah. Dan sama sekali tidak bertujuan mendustakan ulama sebelumnya, atau menganggap bahwa ulama-ulama terdahulu itu bodoh, lemah. Sehinggga kita ganti hasil ijtihadnya. Karena kita punya prinsip :

الفضل على القدماء وإن أحسن الخلفاء

“Keutaman senantiasa bagi ulama terdahulu walaupun generasi penerus memiliki pandangan yang lebih baik.”

Sebagai misal, penjelasan dalam kitab Syarh at-Taqrib, bahwa hukum mabit di Muzdalifah, bermalam di Muzdalifah bagi jamaah haji setelah melakukan wukuf di Araofah menurut Imam ar-Rofi’i hukumnya sunnah. Sedangkan menurut Imam Nawawi ad-Dimasyqi mabit di Muzdalifah hukumnya wajib bagi jamaah haji pasca Arofah.

Dan sepertinya ulama-ulama syafi’iyyah lebih memilih pendapat Imam Nawawi dalam masalah mabit di Muzdalifah ini. Prof Musthofa Daibul Bugho dalam fiqhi manhaji mencatat bahwa amaliah mabit di Muzdalifah adalah wajib.

Nah, perbedaan pendapat seperti contoh di atas ini lumrah dan biasa di kalangan ulama. Tidak difahami bahwa Imam Nawawi mendustakan Imam ar-Rofi’i dalam konteks ini. Dan hal seperti itu terjadi hampir di semua disiplin ilmu.

BACA JUGA: Inilah Keutamaan Puasa di Awal Dzulhijjah

Dari sekelumit contoh ini, mestinya publik memahami bahwa yang dilakukan Kiyai Imaduddin Ustman adalah bagian dari amaliah istidrokaat.

Jika masih ada sebagian kecil masyarakat yang masih mempercayai Baalwi sebagai keturunan nabi, ya monggo. Jangan marah-marah dan membenci kepada orang yang sudah tercerahkan fikiran dan hati nuraninya dan dengan dalil yang kuat yang menyimpulkan bahwa Baalwi bukan Dzurriyah nabi yang mulia, mereka hanyalah imigran Yaman yang didatangkan Belanda pada masa kolonial dan mereka ber-haplogroup G.

Toh,  Imam Muhmmad bin Hasan dan Imam Malik tidak marah-marah ketika Imam Syafi’i berbeda pendapat dengan mereka berdua. Juga Imam Syafi’i tidak pernah menyebut Imam Ahmad sebagai yahudi pesek ketika Imam Ahmad berbeda pandangan dengannya. Yang suka mencaci ketika kalah berargumen itu hanyalah orang-orang yang bermental kerdil dan kurang ngaji.

Menurut saya, sekarang inilah saatnya orang-orang nahdhiyyin mengamalkan kaidah :

المحافظة على قديم الصالح والأ خذ بالجديد الأصلح

“Menjaga kebijaksanaan dan kearifan yang telah dirawat oleh kiyai-kiyai terdahulu dan menggagas wawasan-wawasan modern yang lebih baik.”

Korelasinya dengan per-habiban, bahwa para habib yang berilmu dan ber-ahlakul karimah, baik habib zaman dulu atau zaman sekarang mereka tetap kita hormati dan muliakan sebagai orang berilmu dan sholeh.

BACA JUGA: Melawan Perbudakan Spiritual

Bukan sebagai yang diasumsikan Dzurriyah nabi. Karena klaim mereka sebagai Dzurriyah nabi hanya klaim sepihak, dan mentah menurut penelitian yang terbarukan. Di samping klaim Dzurriyyah nabi dalam konteks kemodernan dan keberagamaan kita hari ini berbahaya untuk Baalwi itu sendiri dan bagi bangsa Indonesia.

Penulis adalah KH Sholehudin Muhtadi Syarif, Pembina Pesantren Mahasiswa Darul Asror Longsir, Serang-Banten dan Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Asrarur Rafiah Babakan Ciwaringin, Cirebon.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *