Kendala dalam Penyerapan HGBT
Meskipun manfaatnya besar, beberapa kendala masih menghambat optimalisasi penyerapan HGBT. Beberapa tantangan yang muncul meliputi:
- Harga gas regasifikasi tinggi – PGN menawarkan harga gas regasifikasi mencapai USD16/MMBTU, lebih dari dua kali lipat harga HGBT.
- Pembatasan kuota – Pada 2024, industri hanya menerima 60% dari kuota kontrak di wilayah Jawa bagian barat, akibat kebijakan penghitungan kuota harian dan bulanan.
- Distribusi yang belum merata – Beberapa industri belum menerima pasokan gas bumi meskipun telah ditetapkan sebagai penerima HGBT. Contohnya, PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) belum mendapatkan alokasi sebesar 40 BBTUD.
“Mayoritas industri penerima HGBT, atau lebih dari 95%, masih membayar harga gas di atas ketentuan, yaitu lebih dari USD6,5/MMBTU,” jelas Agus.
Usulan Perbaikan Tata Kelola HGBT
Agar kebijakan ini lebih optimal, Kementerian Perindustrian mengusulkan pemisahan HGBT dari sektor lain seperti pupuk dan kelistrikan.
Agus menjelaskan bahwa sektor pupuk sudah mendapatkan subsidi harga jual, sementara sektor listrik menerima subsidi energi, sehingga penggabungan dengan HGBT justru mengganggu perhitungan harga gas rata-rata.
“Langkah ini akan memberikan kejelasan dalam pengelolaan harga gas,” ungkapnya.
Selain itu, Agus menegaskan kesiapan sektor industri untuk menjalani audit dari hulu ke hilir guna memastikan penggunaan gas bumi sesuai kebutuhan.
BACA JUGA: Berkontribusi Lebih dari 60 Persen PDB, Ini Strategi Pemerintah Tingkatkan UMKM
“Pemerintah harus memandang program HGBT sebagai faktor pendorong ekonomi, bukan beban biaya. Memang ada potensi pengurangan pendapatan negara dari penerapan HGBT, tetapi kenaikan penerimaan pajak dari industri penerima HGBT bisa menutupnya hingga enam kali lipat,” pungkasnya.