Singkat kata, perlu untuk meyakini bahwa hukuman adalah bentuk dari pengampunan. Seseorang yang merasakan air asin, pastilah orang yang pernah merasakan segarnya air tawar. Begitu juga seseorang yang mendambakan air asin, patut kita duga adalah seorang yang merasa jenuh dengan air tawar.
Dalam hal ini kita melihat bahwa, suatu hal adalah pembelajaran yang tepak untuk hal lain, dan bagaimana kita melihat suatu perkara adalah dengan melihatnya secara lebih bijaksana. Segala sesuatu akan menjadi lebih jelas melalui kebalikan-kebalikannya, begitulah kiranya kita mengambil makna dari Rumi.
Perbandingan terbalik tersebut bukanlah sebuah pertentangan, bukan sebuah dialektika yang saling menegasikan, melainkan bentuk yang saling berhadap hadapan, namun saling menegaskan eksistensi keduanya. Dan bagaimanakah keduanya bisa bekerja dalam perkara hukuman dan pengampunan?
Kita memahami bahwa untuk dua perkara yang berhadapan pastilah berasal pada satu perkara, dan dalam pandangan seperti ini mustahil keduanya bisa saling bertentangan, suatu hal yang berasal dari satu perkara, haruslah juga hal yang sejenis. Praktisnya, dua perkara yang terlanjur berhadap hadapan, haruslah diingatkan pada asal yang akan menjadi penyatu diantara mereka.
Kebaikan dan Kejahatan
Dalam hal ini, kejahatan dan kebaikan hanyalah kualitas luaran dari kejadian, dan kita memahami kejahatan karena kita memahami kebaikan, begitu juga kita pahami adanya kebaikan karena kita melihat kejahatan, tapi manakah yang lebih nyata? Mari kita renungkan masalah kejahatan dan kebaikan. Jika kita melakukan aktivitas, apakah pada dasarnya itu telah mengandung kebaikan dan kejahatan pada mulanya?
Tentu tidak, kualitas tersebut kemudian kita berikan ketika kita temui adanya kepentingan antar subjek. Karena kepentingan setiap subjek berbeda beda berdasar kondisi ruang dan waktunya, maka seolah kita saling terbentur, dan pada saat itulah kita menyepakati adanya pertimbangan moral.
Kebaikan didasarkan oleh dorongan subjek untuk memenuhi kebutuhan fisik dan batinnya, dalam perkara pertama ini, semuanya didorong oleh kebaikan, meski baru sebatas kebaikan individual, kemudian kita sadari bahwa kita tidak sendiri, dan subjek lainpun mengikuti dorongan untuk memenuhi kekurangan fisik dan batinnya. Pada perkara kedua inilah kita mengenal adanya kejahatan, karena muncul dari cara cara non dialogis inter subjek. Artinya kejahatan hanyalah ketiadaan atau setidaknya kekurangan intensitas kebaikan pada dirinya.
Baca juga:Â Pemilu 2024 dan Peran Penting Gen Z dalam Politik Indonesia
Begitulah kiranya kita memahami hubungan antar kejahatan dan kebaikan. Sekarang kita telah mengetahui bahwa kejahatan, keburukan, dan jenis lainnya adalah kualitas negatif yang berelasi erat dengan intensitas dari yang positif.
Keduanya berhubungan mesra naik dan turun saling melengkapi. Jika kebaikan mengalami pendangkalan, maka kejahatan akan mengalami kenaikan, begitu juga sebaliknya. Bila kita pikirkan lebih lanjut posisi ontologis diantara keduanya, kita akan mengatakan bahwa, karena kualitas negatifberelasi erat dengan kualitas positif, namun yang pertama adalah dasar bagi yang kedua, atau yang positif adalah induk dari yang negatif, karena relasinya mengacu pada intensitas yang pertama, maka bisa kita katakan bahwa ini adalah masalah keber ‘adaan’ atau eksistensi dasar.
Praktisitas Pemberian Putusan
Karena ini telah menjadi masalah eksistensi yang lebih mendasar, maka jawabannya menjadi semakin sederhana, kita akan katakan bahwa sesuatu yang tidak ada itu tidak ada, mustahil yang kita sebut tidak ada menjadi ada, kecuali hal ini menjadi rancu dalam logika saja.
Pada realitas, kita tidak bisa menunjuk objek/subjek yang tidak ada, tidak akan mungkin bahkan kita untuk mengenal apa itu yang tidak ada. Yang tidak ada mestilah bergantung pada sesuatu yang ada, namun fenomenanya tidak kita saksikan pada ruang dan waktu yang kita pahami, kita inginkan, tetapi sesuatu itu ada pada dirinya. Sekarang telah terlihat jelas bahwa kejahatan adalah sesuatu yang tidak ada pada dirinya, disini masalahnya hanya kita kekurangan kebaikan.
Setelah kita cermati poin poin di atas, sejauh ini penulis meyakini bahwa hukuman adalah bentuk dari pengampunan, dan pendekatan kita dalam memberikan hukuman haruslah didasari dengan putusan yang lebih bisa membawa pada anugrah kebaikan. Tapi bagaimana praktisnya kita memberikan putusan?






