RUANGBICARA.co.id – Adalah kesalahan dan emosional jika menilai orang yang meragukan dan mengoreksi ketersambungan nasab habaib kepada Baginda Rasulullah Saw sebagai bentuk kebencian kepada Ahli bait.
Adalah tidak adil jika menilai orang yang kritik terhadap nasab Baalwi sebagai orang yang telah memutus mata rantai ilmu, mengingat sebagian ulama terdahulu ada yang berguru kepada Baalwi.
Adalah berlebihan jika menjustifikasi orang yang kritis terhadap nasab Baalwi sebagai orang yang benci kepada semua Baalwi.
Adalah keterlaluan jika memandang orang yang kritis terhadap nasab Baalwi sebagai orang yang menghujat atau memusuhi ulama-ulama dari Baalwi dari zaman dulu sampai sekarang.
Menurut saya cara berfikir seperti itu naif dan menghambat kemerdekaan berfikir. Yang berfikir seperti itu hanya pribumi yang bermental primordial, manusia kelas ketiga yang gampang terprovokasi dan mudah diadu domba. Karena mudah emosi dan sensitif.
Tidak meyakini ketersambungan nasab Baalwi sampai kepada Rasulullah Saw adalah sesuatu penghinaan. Tidak sepaham dengan pendapat orang lain bukan berarti memusuhi atau menghina orang tersebut.
Kalau ketidak sepahaman pendapat seorang terhadap pendapat seorang lain dinilai sebagai bentuk permusuhan dan penghujtan atau pendustaan. Maka apa gunanya falsafah bhineka tunggal ika, berbeda-beda tapi satu tujuan. Dan apa fungsi dari prinsip “perbedaan pendapat dikalangan umat adalah rahmat.”
Kalau perbedaan pendapat dalam masalah hukum antara ulama generasi sekarang dengan ulama generasi terdahulu dinilai sebagai hujatan ulama generasi sekarang terhadap ulama generasi dahulu, maka penolakan Imam Syafi’i terhadap amaliah penduduk Madinah sebagai hujjah menurut Imam Malik akan dinilai sebagai hujatan atau pendustaan Imam Syafi’i kepada Imam Malik.
BACA JUGA: Bersikap Adil
Hanya orang fanatik dan emosional yang berpandangan seperti itu. Dan tentu saja ada banyak masalah perbedaan prinsip atau hukum antara Imam Syafi’i dan Imam Muhammad bin Hasan yang bermazhab Hanafi, dan perbedaan itu tidak dijadikan alasan oleh Imam Syafi’i agar tidak berguru kepada Imam Muhammad bin Hasan. Beliau tetap menjadi santri Muhammad bin Hasan mesti berbeda pandangan.
Kalau perbedaan pandangan keyakinan dianggap sebagai permusuhan maka tidak akan pernah terjadi Imam Bukhori mengambil riwayat dari perowi-perowi yang berkeyakinan rofidhoh,syiah. Tetapi faktanya ada berapa banyak perowi-perowi hadist yang beraliran rofidhoh yang diambil periwayatnya oleh Imam Bukhori dan dicatat di dalam kitab shohih al-bukhori.
Ini menandakan bahwa ilmu adalah sesuatu, dan perbedaan pandangan atau prinsip adalah sesuatu yang lain. Berbeda bukan berarti bermusuhan.
Nah, yang dilakukan Kiyai Imaduddin Ustman dalam penelitiannya terhadap nasab Baalwi ini, itu konteksnya sama dengan perspektif di atas. Dan penelitian beliau ini didukung oleh orang-orang berkelas, seperti Abuya Muhtadi Cidahu, Prof. DR K.H. Said Aqil Siraj, Pakar filologi Prof. Manachem, DR Sugeng pakar DNA dan tokoh-tokoh besar lainya. Jadi itu pyur soal ilmu, bukan kebencian!
Dari perspektif ini kita bisa dengan legowo menilai tokoh-tokoh yang mengkaji nasab habaib itu adalah para pencari kebenaran. Karena klaim kebenaran habaib sebagai dzuriyyah nabi setelah diteliti ternyata tidak tersambung kepada Rasulullah Saw.
Dan juga, tindakan mengoreksi kebenaran nasab Baalwi ini, jangan difahami itu sebagai kebencian terhadap klan Baalwi, tapi justru itu sebenarnya ingin menyelamatkan klan Baalwi dari persangkaan mereka selama ini.
Toh, pada faktanya gelar habib itu membuat kebanyakan dari mereka menjadi gelap mata dan semena –mena dalam beragama dan bermasyarakat. Dan banyak juga masyarakat yang dirugikan oleh gerombolan Baalwi ini disebabkan klaim habib sebagai anak cucu Rasulullah Saw.
Orasi Bapak Ustadz Riziq Syihab di beberapa kesempatan yang mengatakan bahwa ada intelejen hitam yang ingin mengadu-domba atau mengobok-obok antara ulama dan habaib yang tidak menghendaki persatuan umat Islam perlu dipertanyakan kebenarannya.
Sebab, jika Bapak Ustadz Riziq tidak bisa membuktikan kebenaran ada dan tidak adanya “intelejen hitam”yang dimaksud, maka opini liar yang akan berkembang –menurut saya-adalah bahwa Bapak Ustadz Riziq ingin megalihkan isu nasab ini menjadi isu agama dan negara.
Sehingga publik akan menilai bahwa orang-orang yang menkritisi nasab habaib adalah orang-orang yang diciptakan negara untuk memecah belah umat Islam dari dalam. Kalau benar ini terjadi, maka sangat berbahaya bagi keberlangsungan hidup berbangsa dan beragama di masa depan.
Menurut hemat penulis, adanya gelombang besar ketidak percayaan publik kepada ketersambungan nasab habaib ini adalah “people protest”akibat dari pada prilaku para habaib selama ini.
BACA JUGA: Bayang-bayang Dinasti Politik di Pilkada Lebak 2024
Bapak Ustadz Riziq jangan menutup mata dalam menilai kelakuan arogansi Bahar Smith, dan habib-habib yang lain yang bertebaran di media sosial. Dalam ceramah-ceramah mereka. Masyarakat sudah melihat dengan jelas dan muak kepada orang–orang itu. Walaupun Bapak Ustadz Riziq mengingkarinya.
Klaim ada usaha adu domba umat Islam dalam isu nasab ini, menurut saya itu hanyalah desahan dan kegelisahan klan Baalwi karena ketidakmampuan mereka dalam menghadirkan bukti ketersambungan nasab mereka kepada Rasulullah Saw, baik secara kajian ilmu nasab yang diusung Sang pembebas perbudakan spiritual KH Imaduddin Ustman atau secara DNA, atau secara kajian antropologi, sejarah dan kajian filologi.